BERITA-SULSEL.COM – Maju menjadi calon bupati di pemilihan kepala daerah (Pilkada) 11 kabupaten akhir tahun ini, bukanlah perkara mudah. Pasalnya, setiap figur yang ingin bersaing menjadi orang nomor satu harus dan wajib menyiapkan biaya politik sebasar Rp12 Miliar.
Hal ini disampaikan Direktur Indeks Politica Indonesia (IPI), Suwadi Idris Amir kepada Radar Makassar, Kamis (4/6/2015). Menurutnya, sudah menjadi konsekuensi bagi setiap figur yang ingin maju sebagai calon bupati. Mereka harus merogoh koceknya dalam-dalam jika ingin bertarung dalam Pilkada.
“Setiap pasangan calon bupati dan wakil bupati jika ingin diperhitungkan di pilkada, mereka harus menyiapkan anggaran yang cukup, yakni Rp5 miliar sampai Rp12 milyar. Ini ukuran pemilihan umum kepala daerah di Sulsel,” ujar Suwadi.
Suwadi menjelaskan, cost politik tersebut diperuntukkan untuk membiayai sosialisasi, pencitraan dengan menggunakan atribut dan media, saksi, tim kampanye dan pemeliharaan basis massa. “Rp12 miliar ini tak termasuk biaya konsultan
politik. Biayanya dipatok dari Rp500 juta sampai Rp2 miliar,” ungkap Suwadi.
Terkait pernyataan Suwadi ini, ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Demokrat Gowa, Andi Maddusila Idjo mengaku siap mengeluarkan biaya besar untuk maju di Pilkada Kabupaten Gowa 2015 mendatang.
Dana segar tersebut, kata Maddusila, digunakan untuk melakukan konsolidasi, pembuatan logistik kampanye dan berbagai keperluan lain jelang Pilkada Gowa yang laksanakan secara serentak nanti 2015 mendatang. “Saya siapkan
Rp20 miliar di Pilkada nanti,” ungkap Maddusila.
Maddusila mengaku telah mempersiapkan secara matang berbagai keperluan tim pemenangnya agar mampu terpilih sebagai bupati Gowa. Pasalnya, keturunan raja Gowa ini telah tiga kali gagal di Pilkada Kabupaten yang dikenal merupakan basis massa terbesar klan Yasin Limpo.
Sementara itu, calon Bupati Bulukumba Syamsir Rahim mengatakan, saat ini pihaknya belum bisa menyampaikan berapa anggaran yang disiapkannya untuk bertarung di Butta Panrita Lopi 2015 nanti. “Saya belum kalkulasikan anggarannya, saya kira memang sudah menjadi konsekuensi setiap calon bupati untuk menyiapkan anggaran yang besar. Namun, kami coba menekatan angka itu dengan bergerak melakukan silaturahmi, cara ini lebih hemat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat sebagai pemilih,” tegasnya.
Secara terpisah, pengamat komunikasi politik Universitas Hasanuddin, Hidayat Nahwi Rasul mengatakan, sistem demokrasi di Indonesia yang membutuhkan anggaran yang besar, hal ini mengatarkan pada perilaku yang mengarah
pada praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). “Proses Pilkada langsung menjadi pemicu korupsi. Ini saya katakan, karena para kontestan harus mengeluarkan uang banyak. Tentunya, jika mereka terpilih mereka berpikir untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat mengikuti suksesi,”tegas Hidayat. (ft)
Comment