Manusia Becak, Sosok Orang Kalah di Metropolitan

Wiwi Widya Ningsih
Mahasiswa KPI-FDK UIN Alauddin Makassar
Melaporkan dari Makassar

Wiwi Widya Ningsih
Wiwi Widya Ningsih

Senja menjelang malam, pasukan pemulung menggunakan becak satu persatu mulai nampak mengitari ruas jalan di Hertasning Baru, mulai dari samping Gedung DPRD Kota Makassar sampai ke Kantor Pedidikan Nasional Kota Makassar.


Pemulung ini adalah ibu-ibu rumah tangga menggunakan becak, sekaligus mendesain bagian atas dengan menaruh papan, maka jadilah tempat aktifitas anak-anak balita mereka. Anak mereka itu dicampur dengan sampah plastik sejenisnya di dalam becak.

Becak jadi tempat penampungan sampah dan lokasi bermain anak balitanya, maka mereka ini sering diistilahkan dengn manusia becak. Pemandangan Senin pekan lalu akhir Nopember 2015, manusia becak itu salah seorang di antaranya sempat ditemui namanya Dg.Marwiah (32). Tempat tinggalnya Jl. Adyaksa Baru, Lr.5 Makassar, dengan anak 6 orang serta saudara dua orang.

Suami Dg Marwiah bernama Dg. Unding, beruumur 45 tahun. Tingkat pendidikan sangat rendah menjadikan tidak ada pilihan lain harus menjadi informal dan kini bersama isterinya juga jadi pemulung di lokasi lain, disela wakttu juga bekerja sebagai buruh bangunan

Pemulung ini setiap hari dia keluar mencari barang bekas sekitar jam 15.00. WITA, membawa becak dan anaknya berumur sekitar 2 tahun. Rute yang ditelusuri mulai dari Jl.. Hertasning sampai di Jln.Boulevard dan kembali ke rumahnya sekitar jam 23.00 tengah malam, dengan anak-anak mereka sudah tidur nyeyak di atas tumpukan barang hasil memulung ibunya.

Menurut Marwiah, memilih kerja jadi pemulung di banding kerja di tempat yang layak semisal pedangan kaki lima, disebabkan pemulung tidak membutuhkan biaya, sedangkan pedangan kecil harus membutuhkan modal yang juga agak besar.

Dia menjalani rutinitas pemulung kurang lebih 10 tahun lamanya. Sebenarnya dia ingin bekerja pada instansi pemerintah dan swasta, tetapi kendalanya adalah tidak ada kartu identitas diri berupa KTP dimiliki. Mereka ingin mengurus kartu identitas diri, tapi lagi-lagi biaya kurang, jangankan mengurus kartu identitas, kebutuhan sehari-hari saja kurang terpenuhi.

Juragam pemulung yang jadi langganannya bernama Dg. Ali, tinggal di jalan Adyaksa Baru. Setiap kali dia kembali ke rumahnya, dia langsung setorkan barang-barang bekas yang diperoleh.

Penghasilan memulung setekah ditimbang paling tinggi senilai Rp. 50.000. Penghasilan memulung itu tergantung dari barang bekas yang mereka kumpulkan, jika cukup banyak terkumpul, maka penghasilan yang didapatkan juga semakin besar. Begitupun sebaliknya, jikalau sedikit barang terkumpul maka penghasilan yang diperoleh juga agak kecil.

Selama melakoni dunia mencari barang bekas yang jadi sampah itu, dia tidak pernah menjumpai seseorang menawarkan pekerjaan yang layak bagi mereka. Marwiah rela bekerja sebagai pemulung demi kebutuhan sehari-harinya.

Setiap kali keluar untuk mencari barang bekas di jalur yang rutin ditelusuri, dia selalu di tegur Satpol PP Pemkot Makassar. Kehadiran para manusia becak dinilai merusak dan mengganggu keindahan dan ketertiban Kota Metropolitan Makassar.

Sosok Dg Marwiah ini, adalah potret anak-anak bangsa yang kalah di Kota Metropolitan. Pendidikan formal dan keterampilan yang sangat minim, menjadikan dirinnya dan Dg. Warwiah lainnya, terpaksa memilih jadi pemulung sebagai pilihan bertahan dan menyambung hidup.

Masalah lebih besar krusial menghantui pikiran Dr. Marwiah adalah masa depan anak-anak mereka. Ikut ibu memulung berarti sudah tidak masuk jenjang pendidikan formal. Ketika pendidikan tidak terlewati, itu berarti anak-anak mereka akan kembali mewarisi, dahsyatnya kemiskinan yang dijalani kedua orang tuany. Itu berarti anak-anak pemuluh itu kembali menjalani dan menyongsong masa depan mereka yang suram dan kelam. (*)

Baca Juga

Masjid Cheng Ho Gowa Serasa Salat di Negeri Cina

Merasakan Jadi Penyiar di Studio RRI Makassar

Makassar Menuju “Kota Macet”

Cerita Diujung Senja Pantai Losari Makassar

Comment