Kampus “Benteng” Revolusi

Ahlan Mukhtari Soamole
Ahlan Mukhtari Soamole

Kesadaran seorang reform lebih termatangkan bila diorientasikan terhadap objek eksternal maupun—wadah, naungan atau dedikasi kolektif–sebagai objek yang membangun kesadaran seseorang. Hal demikian, berangkat dari wadah yang membangun knowlodge serta responsif pergerakan yang ekstensif dan bersifat sistematis. Ketika pergerakan-pergerakan besar dapat mempengaruhi perubahan baik alur kenegaraan serta proses bernegara tak luput dari doktrin dan penetapan kurikulum-kurikulum berbasis ‘’kiri’’.

Sebagaimana menurut Frans Magnis Suseno (2013), terjadi di Rusia (Union Soviet). Pemerian-pemerian pemahaman seperti tersebut sangatlah cepat membangun suatu sikap dalam bergerak mengambil tindakan besar yang pada gilirannya dapat melakukan gerakan revolusi bersamaan dengan perluasan ideologi-ideologi.


Dinamika global akhir-akhir ini pada abad ke-21 menyisahkan persoalan-persoalan besar (big problems). Sebab, pemerolehan ilmu pengetahuan serta pengusahaannya belumlah dapat diimplementasikan secara humanis. Perkembangan teknologi yang begitu meningkat kemudian tak sebanding dengan kebijaksanaan yang humanis dalam penggunanaannya. Akibatnya membawa kepada kehancuran atau bersifat destruktif.

Apakah yang keliru dari masalah-masalah itu. Sedangkan sejenak kita berpikir bahwasannya dengan ilmu seharusnya manusia mampu memliki tanggung jawab besar agar membawa kepada keadilan dan kemakmuran masyarakat. Bukanlah membawa kepada kepentingan-kepentingan semata atau kelompok tertentu.

Hal ini menunjukan bahwasannya bangsa pada abad ke-21 mengalami degradasi pemikiran atau pengetahuan berkaitan dengan filsafat—filsafat sebagai pengetahuan yang memberikan pemahaman kompherensif, universal, radikal, sistematis dan bijaksana—sehingga sejauh kehidupannya belum dapat mengambil keputusan secara bijaksana.

Dalam paradigm pembangunan intelektual menjadi perhatian utama yang seharusnya ialah mengupayakan serta memberikan bekal pengajaran dan pemebentukan intelektual melalui dedikasi kampus baik secara formil, maupun non formil. Sebab, dengan memperbaiki hal demikian kita dapat merubah dan mendidik para intelektual sematang-matangnya. Sehingga, mereka memiliki intensitas kritis (logic critical) dan kemampuan mengubah masyarakat dari keterpurukan menuju kepada kebenaran dan kebaikan. Apa landasan penilaian nilai kebenaran dan kebaikan itu.

Tentu, secara definit arti daripada suatu kedua nilai tersebut. Terukur oleh pengusahaan pola berpikir dan mengikuti prinspip-prinsip berpikir sistematis runtut dan eksplisit. Hal ini hanyalah terdapat dalam logika. Jadi, penentuan nilai kebaikan tersebut, berada dalam pengetahuan logika secara etis. Yang pada gilirannya mencakup pengetahuan filsafat.

Perlu digelitik hal ikhwal menyangkut perubahan paradigma secara perlahan-lahan. Dengan adanya perspektif faktual bahwasannya pendidikan mengalami tumpuan harapan atas ‘’mereka’’ yang keluar dari perguruan tinggi guna akan memenuhi kebutuhan pasar atau ekonomi. Dan hal tersebut dibahas pula dalam pandangan Agus Suwignyo (2007), bahwasannya pendidikan haruslah melahirkan setiap insan–individu maupun kolektif–sebagai agen sumber daya pengontrol dan agen perbuhan sosial masyarakat. Dan bukanlah sebagai pemenuhan kebutuhan pertumbuhan ekonomi.

Oleh sebab itu, korespondensi antara pengajaran revolusioner dengan mengedepankan pembangunan paradigma filsafat sangatlah diutamakan baik dioreientasikan dengan upaya stimulus, pendorong sebagai suasana kondisi suatu lingkungan tertentu. Jika pendidikan revolusioner dapat berkemajuan secara progresif maka hal-hal yang perlu diperhatikan ialah mengenai refleksi pendidikan kritis, eksistensi intelektual atas penyelesaian konstelasi persoalan sesuatu masalah. Dan mendorong upaya gerakan intelektual muda. Melalui wadah ‘’kampus’’ sebagai paradigm gerakan kolektif.

REFLEKSI PENDIDIKAN KRITIS

Pengabadaiaan dan penghargaan patut diberikan kepada salah satu filsuf pendidikan Brazil Paulo Freire (1921-1997) sebagaimana tokoh tersebut mampu menunjukan perihal suatu kebaruan dalam pendidikan baik pengajaran maupun metode mempertajam daya analitis kritis didikan. Konsep yang ditawarkan berupa cara pendidikan bersifat pedagogy atau resiprokal. Dan sistem yang dilawan yakni terhadap sistem banking yang hanya menjadikan seorang intelektual anak didik sebagai objek selalu siap di isi—kata isi sebagai istilah kasar–diberikan buah pikiran pengetahuan tanpa ada proses dialektika.

Sebagaimana juga sistem pedagogi seorang murid tidak hanya menjadi pendengar dan penurut. Namun, diberikan ruang pertentangan dan dialektika kolektif melalui criticcal thingking. Sebaliknya Jurgen Habermas (2007) tokoh kritis mazhab frangfurt generasi kedua, pernah membahas persoalan menyangkut penyelesaian suatu persoalan yang semestinya bentuk penyelesaian persoalan membutuhkan metode tindakan rasional-komunikatif untuk dapat menghindar dari berbagai ancaman konflik baik kalangan mahasiswa maupun demonstran.

Banyak hal dapat dipelajari dari tokoh yang membangun paradigma kritis. Termasuk bagian dari pemikiran eksponen terkemuka Indonesia. KH Dewantara (1889-1959), sebagaimana diutarakan pendidikan pengajaran bukan diukur dari keberhasilan bangunan fisik kemegahan berbagai bentuk-bentuk bangunan tersebut. Namun, diukur dari kemampuan anak didik intelektual yang kritis, tanggap, dan responsif terhadap masyarakat baik atas berbagai ragam persoalan masyarakat sehingga dapat menyelesaikan ketidakpastian tersebut.

Penulis adalah mahasiswa Teknik Pertambangan, Universitas Karya Dharma Makassar dan Pegiat Filsafat.

Comment