Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita “Hoax”?

Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita "Hoax"?
Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita “Hoax”?

JAKARTA, BERITA-SULSEL.COM – Penyebaran berita bohong atau sering disebut hoax, kini tengah menjadi persoalan yang cukup serius di Indonesia. Pasalnya, hoax menjadi salah satu pemicu fenomena putusnya pertemanan, gesekan, dan permusuhan.

Informasi yang bersifat hoax menyebar dengan cepat baik melalui saluran media sosial ataupun grup di aplikasi chatting. Misalnya saja Whatsapp, Blackberry Messenger, dan masih banyak lagi.


Mengapa banyak orang yang mudah percaya dengan informasi-informasi hoax dan mengapa pula penyebarannya begitu masif, padahal kebenarannya belum dapat dipastikan?

Ternyata, menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah percaya pada hoax.

“Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya,” ujar Laras Sekarasih, PhD, Dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia saat dihubungi Kompas.com.

Hal tersebut, menurut Laras, juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Seseorang yang terlalu suka terhadap kelompok, produk, kebijakan tertentu, jika menerima informasi yang sesuai dengan apa yang ia percayai, maka keinginan untuk melakukan pengecekan kebenaran terlebih dahulu menjadi berkurang.

Secara natural, perasaan positif akan timbul di dalam diri seseorang ketika ada yang mengafirmasi apa yang dipercayai. Perasaan terafirmasi tersebut juga menjadi pemicu seseorang untuk dengan mudahnya meneruskan informasi hoax ke pihak lain.

Penyebaran hoax selain karena adanya perasaan terafirmasi juga dipengaruhi oleh dipicu anonimitas pesan hoax itu sendiri.

“Seringkali ada awalan pesan ‘sekedar share dari grup sebelah’. Anonimitas ini menimbulkan pemikiran bahwa jika informasinya salah, bukan tanggung jawab saya. Saya sekedar share,” ujarnya lagi.

Terbatasnya pengetahuan

Alasan kedua mudah percayanya seseorang pada hoax, lanjut Laras, bisa juga disebabkan karena terbatasnya pengetahuan.

“Tidak adanya prior knowledge tentang informasi yang diterima bisa jadi mempengaruhi seseorang untuk menjadi mudah percaya,” katanya.

Ia mencontohkan informasi yang ramai disebarkan melalui broadcast message berisi ajakan untuk mengunduh aplikasi tertentu atau donasi melalui perusahaan tertentu. Kepercayaan terhadap informasi-informasi tersebut bisa jadi dikarenakan tidak ada pengetahuan sebelumnya mengenai aplikasi atau perusahaan yang dimaksud.

Fakta menariknya, tidak ada satu pun orang yang benar-benar imun terhadap hoax. Siapa saja bisa menjadi korban sesatnya informasi hoax.

“Ketika berbicara soal media sosial, media digital, saya berpendapat kita harus bedakan antara kemampuan mengevaluasi informasi dengan kemampuan mengoperasikan gawai. Seseorang yang tech savvy belum tentu information literate,” ujarnya.

Oleh karena itu, secara teoritis, menurut Laras, rentan atau tidaknya seseorang terhadap hoax lebih tergantung pada kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi informasi, dan literasi media. Bukan hanya kemahiran memanfaatkan teknologi informasi.

Hoax memberi dampak psikologis

Laras mengatakan, secara umum hoax memiliki daya untuk mengubah dan memperkuat sikap atau persepsi yang dimiliki seseorang terhadap suatu hal. Bisa jadi ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu, orang tertentu, kelompok tertentu, dan sebaliknya.

Namun khusus informasi-informasi hoax yang bersifat negatif dapat menyebabkan kecemasan berlebih.

“Informasi hoax yang negatif menimbulkan rasa takut terhadap dunia luar, ada kecemasan berlebih,” katanya.

Comment