Membaca Manusia dan Sekolah dari Kiri

Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole

Ahlan Mukhtari Soamole

Setelah doktrinisasi formalitas sekolah berkembang sebagaimana doktrin yang berkaitan dengan perintah kepada kaum kelas sosial agar dapat memeroleh pendidikan secara formal di sekolah. Meniscahyakan setiap massa tanpa mengenal kelas—namun kelas atas lebih mendominasi walaupun pengetahuan yang diperoleh itu secara menyeluruh dan utuh namun dapat memenuhi kepentingannya secara legitimate—untuk berkompetisi atau bertarung guna memiliki tanda seperti prestasi formal dengan memiliki izajah dan hal serupa lainnya. Secara definitif, patut dipertanyakan kehadiran dan fungsi peranan sekolah, apakah sekolah-sekolah demikian mengimplementasikan dan membentuk human kontruktif emansipatoris terhadap anak didik.


Apakah sekolah yang didengung-dengungkan dan menjadi impian masyarakat kelas atas maupun kelas akar rumput selalu membentuk sikap, watak dan afektifitas manusia-manusia yang bermoral. Ataukah sebaliknya menjadi ilusi dan bayangan, sekolah hanyalah proses membentuk seseorang, menjadi budak atas kepentingan mengekploitasi dan cara pandang atas dehumanisasi berdasar paradigma positivisme logis yang mekanistik, robotisasi, massifikasi dan teknokratis terhadap pemerolehan dari pendidikan yang berlangsung.

Problematika sosial dunia kontemporer, secara eksplisit menunjukkan bahwasannya sistem yang berlangsung merupakan sistem yang berasas atas kepentingan—bukanlah sistem yang dipahami sebagai sistem hieararki yang manusiawi—sebagaimana kepentingan kaum kapitalisme, demokrasi liberalisme bahkan dapat saja sistem yang berlaku seperti halnya komunisme yang menakutkan setiap masyarakat dengan model otoriterianisme-nya.

Dinamika inilah yang berlangsung secara sistematis, hierarki dan memilukan, jika sistem yang berlangsung saat ini dan dapat dirasakan keterbelakangannya, bahkan bersifat destruktif atas prosesnya maupun hasil temporal, terhadap rakyat maka, dapat dipertanyakan sebenarnya orientasi propaganda yang di atur tersebut, apakah memiliki implikasi antara elite domestik dengan sistem global.

Relevansi antara propaganda besar ini dengan sekolah ialah sekolah hanyalah dijadikan suatu pencahariaan baik material maupun pemanfaatan pemenuhan pasar sebagaimana keberlangsungan yang dibuat oleh para pelaku kebiadaban yang memundurkan nilai moralitas peradaban ummat istilah di Indonesia sebagai bangsa. Hal ini juga berdampak kepada pendidik karena ketidaksampaian harapan dan impian pendidik–tidaklah proporsional—untuk menghasilkan anak didikkan yang kritis, intensionis, dan afektif serta memiliki kemampuan-kemampuan social scientific.

Sebab, kurikulum tersebut murni kurikulum yang pengajarannya bersifat menghardik kepada anak-anak di sekolah sebagai penghamba atas kaum-kaum borjuisme (borjuisme istilah yang sering dipakai oleh Karl Marx untuk menunjukkan perbandingan antara kelas atas dan kelas bawah, kelas atas diekuivalenkan dengan kaum borjuisme, pemodal, kaum hartawan, sedangkan kelas bawah ialah proletar, petani, kaum buruh dan nelayan.) Atau sebaliknya kurikulum yang diajarkan di sekolah tersebut merupakan kurikulum yang menghasilkan anak didik itu sendiri sebagai borjuisme.

Sekolah Tumpuan Harapan

Sekolah pada masa-masa perkembangan dari zaman ke zaman mengalami penurunan atau perluasan pengertian atas sekolah itu sendiri. Jika berbicara tentang sekolah maka sekolah tidaklah dapat dipisahkan dengan pendidikan. Arti fundamental dari sekolah itu sendiri ialah–menurut hemat penulis–proes pembentukan karakter manusia dengan memiliki sikap penguasaan ilmu pengetahuan dan kemahiran dalam membangun masyarakat dan lingkungannya.

Jika pendefinisian seperti itu memang tepat sejatinya maka dapat kembali dikontekstualisasikan berdasar realitas aktual, sudahkan pendidikan di sekolah bersifat demikian. Sebagaimana diketahui sekolah pada masa dahulu kala dimulai dari Rumah (tempat tinggal seseorang maupun sanak keluarga) dari rumah itulah pendidikan berlangsung dengan model pengajaran antara seorang alim, orang tua maupun mukhti yang mengajarkan kepada anak didik pendidikan tersebut berlangsung hingga fase pembelajaran berlangsung di Masjid—dalam pendidikan Islam—dari Masjid di mana berlangsung pendidikan antara murid dengan guru dikenal sebagai majelis Ilmu dan masa sekolah secara formalitas yakni Madrasah.

Namun, kondisi dahulu dengan masa kontemporer jika dibandingkan maka, sangatlah berbeda jauh sebab, dahulu banyak murid sebagai pencari ilmu menjadi manusia-manusia yang revolusioner, manusia seutuhnya, manusia pencari kebenaran. Kalau masa kini manusia yang sedang berproses dalam sekolah maupun pendidikan formal justru menjadi despotisme kesewenang-wenangan, dominatif, teknokratis ingin menguasai dan mempertahankan pandangan dunianya yang individualistik atau kolektifisme otoritarian.

Penulis adalah pegiat belajar filsafat dan mahasiswa Universitas Karya Dharma Makassar Jurusan Teknik Prtambangan.

Comment