AMMATOA ; Relasi Antrpokosmik sebagai Perlawanan Terhadap Sains Modern

Sopian Tamrin, S.Pd.,M.Pd
Dosen STIE WIRA Bhakti dan Staff Pengajar FIS UNM

Sopian Tamrin

Semakin tingginya harapan dan ketertarikan masyarakat untuk hidup di tengah perkotaan dengan berbagai fasilitas ternyata masih ada yang memilih bertahan di ujung perkampungan jauh dari teknologi. Tentu bukan hal baru seketika mendengar Ammatoa Kajang , salah-satu suku Tua di Kabupaten Bulukumba Sulawesi – Selatan.


Yahh.. kali ini saya akan menyuguhkan ammatoa sebagai entitas sosial yang membangun relasi seimbang pada tatanan jagat raya.

Mayarakat yang terlanjur merasakan nikmatnya hidup di kota tentu aneh jika aktivitasnya tidak berhubungan dengan teknologi. Namun itu tidak berlaku untuk Ammatoa suku kajang Bulukumba. Mereka hidup tenang dan bersahaja tanpa menggunakan teknologi Modern. kota dengan kebudayaannya dan ammatoa dengan kebudayaannya.

Dalam pandangan post strukturalis, pada dasarnya kebudayaan itu tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah karena setiap budaya bermakna pada sistem kehidupan mereka masing-masing.

Fasilitas teknologi modern tentu bermakna terhadap sistem Masyarakat kota namun hal tersebut justru tak berarti bagi masyarakat kajang. Sedangkan Bagi suku kajang fasilitas terbaik adalah alam yang terjaga. Alam yang tidak terjamah oleh kerakusan manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang melampaui batas.

Kajang adalah entitas yang menjadi antitesa kehidupan kota. ia adalah realitas sosial yang bergerak tanpa mengadopsi saint sebagai cara pandang mengelolah alam. Kalau boleh saya menyebut mereka dengan istilah “Antropokosmik” . Dimana pemahaman relasional tidak menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan sebagaiamana saint positifitik yang antroposentrik.

Dalam pandangan antropokosmik manusia dan alam sama posisinya secara ontologi maupun axiologis.
Manusia dan bumi sama pentingnya dihadapan kosmik. Hubungan keduanya adalah fitrah dengan menjaga keseimbangan tanpa mengeksploitasi demi kebutuhan Survival.

Manusia bukan raja bagi alam, melaingkan saling melayani. Bumi tidak untuk Dikeruk semau-maunya namun diseimbangkan melalui sentuhan akal dan kebijaksanaan.

Tradisi saint modern yang antroposentik menilai kepentingan manusia adalah utama. keseimbangan bumi tidak ada dalam prioritas relasi Human. Bumi semata ladang garapan untuk mengejar pertumbuhan dan kemajuan yang menjadi ukuran keberhasilan masyarakat modern.

Masyarakat Ammatoa di Kajang tidak menggunakan ukuran kemajuan dan pertumbuhan sebagai keberhasilan dalam kehidupan. Mereka menggunakan tradisi sebagai role model dalam mengelolah alam. Kunci keberhasilan adalah ketika hidup berdampingan dengan alam yang asli.

Yahh… menjaga alam adalah pencapaian dari eksistensi mereka. Tradisi suku kajang dalam, teraktual dalam etik universal. Kesadaran kosmik melahirkan keseimbangan berprilaku dalam keseharian. Hal etik yang dimaksud misalnya anda tidak boleh menggunakan alas kaki ketika berada di dalam lingkungan suku kajang.

Selain itu, amat dilarang untuk memetik atau memotong pohon meskipun hanya ranting kecil. tak heran sanksi bagi yang melanggar tradisi akan dialeanasi dari lingkungan kajang dalam.

Sebenarnya inti dari nilai yang dijaga adalah kesederhanaan, itu jelas terlihat dalam perilaku sehari-hari yang patuh terhadap nilai dan ramah dengan kehidupan. Setidaknya kita diingatkan bahwa kebahagiaan tidak selamanya terukur secara material. Ini amat kontras dengan kehidupan di kota.

Etika modernitas yang berkembang hampir mencrabut moral demi ambisi pembangunan. Paradigma pembangunan yang antroposentrik menjadikan alam sebagai objek yang dikelolah ‘‘oleh manusia dan untuk Kepentingan Manusia’’. Terus kemana Peruntukan Alam sebagai kebermaknaan yang hadir sebagai eksistensi pula?… itu hampir mustahil anda temukan di kota.

Pembangunan mengedapankan nilai estetik daripada etik. Ruang terbuka hijau semakin digerus dan diganti menjadi bangunan yang berorientasi. Sampai kapan kita mengorbankan pohon demi asumsi pembangunan(Pembangunan jalan, perumahan, dll)… Efek saint terus mereduksi pusat kehidupan pada manusia.

Apakah hal tersebut sudah pada tempatnya?… jagat raya yang luas ini hemat saya, begitu berani dan ego jika menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan.

Kehidupan Manusia baru hadir pada 500 ribu tahun yang lalu padahal bumi sudah ada 4 miliar tahun sebelumnya sedangkan kosmik jika telisik dalam teori kemunculan alam semesta 10 miliar tahun sebelum planet bumi.

Sudah semestinya cara pandang baru disuguhkan dalam memberikan alternatif pada problem etik kekinian. Ini bukan sekedar persoalan tentang aku, kamu dan kita sebagai manusia semata, melaingkan aku-alam-Tuhan sebagai satu kesatuan relasi.

Keterpahaman kita terhadap posisi kita dalam kosmik adalah hal yang paling utama yang mendahului bentuk perilaku apapun. Bagaiamana mungkin kita menerapkan standar moral atau perilaku jikalau kita tak paham posisi kita di jagat raya. Aku, kamu (Alam) dan Tuhan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan secara ontologis. Yang terpenting sebenarnya adalah kaitan ontologis dari ketiganya.

Apa kaitan aku dengan kamu (Alam) dan kaitan aku dan Tuhan atau kaitan ketiganya sekaligus. Inilah hakikat ontologis yang mesti terpahami sebelum alam ini musnah akibat ulah manusia.

Wallahuallam bissawab.

 

 

Comment