Tiga Tahun Jokowi -JK Gagal Memenuhi Janji Kemerdekaan

TAK dapat dipungkiri bahwa salah satu prioritas utama dari empat janji kemerdekaan Indonesia adalah MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA.

Sudah 72 tahun bangsa ini merdeka, bangsa ini belum juga dapat memenuhi janji kemerdekaan, pun tiga tahun Jokowi-JK belum mampu memastikan janji kemerdekaan itu diwujudkan.


Penuhi Jumlahnya Baru Bicara Kualitas

Ikatan Guru Indonesia sejak diinisiasi tahun 2000, resmi diakui pemerintah dengan keputusan Kemenkumham tahun 2009 hingga berganti kepengurusan di tahun 2016 benar-benar konsen pada upaya peningkatan kompetensi guru.

IGI memandang, diantara seluruh komponen pendidikan, gurulah yang menjadi faktor kegagalan dan kesuksesan yang paling pertama dan utama.

Jika guru tersedia dan berkualitas, belajar di bawah pohon pun tak masalah, jika guru tersedia dan berkualitas, bekas kandang kambing pun tak masalah buat menuntut ilmu, jika guru tersedia dan berkualitas, belajar di rumah yang sekarang dikenal dengan home schooling pun bisa.

Sejak terpilih 30 Januari 2016 silam, saya sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat IGI selalu berupaya maksimal agar IGI tak keluar dari jalurnya “meningkatkan kompetensi guru”.

Saya tidak akan segan-segan menegur pengurus IGI yang mulai sibuk mengurusi siswa karena yang mengurusi siswa itu guru, bukan IGI, IGI harus konsen mengurusi guru.

Meskipun bergerak cepat ketika ada kriminalisasi guru tetapi saya tidak pernah mempersoalkan jika mereka telat bergerak karena konsen IGI memang pada upaya peningkatan kompetensi guru.

Ketika kesejahteran guru bermasalah, ketika beban administrasi guru bersoal, IGI tentu tidak diam karena IGI yakin, kompetensi guru bisa terganggu jika kelayakan hidup tak terpenuhi dan administrasi menjadi beban luar biasa.

Alhamdulillah, dengan konsentrasi yang luar biasa terhadap upaya peningkatan kompetensi guru, meskipun dengan berbagai tantangan, hambatan dan rintangan, IGI mampu melatih 987.327 guru di seluruh Indonesia dalam kurun waktu Januari 2016-Desember 2017.

Angka ini buat sebagian orang adalah angka fantastik dan belum pernah dilakukan oleh Instansi manapun tetapi kami merasa masih jauh dari harapan.

Angka itu masih termasuk guru yang dua, tiga atau banyak kali ikut pelatihan meskipun dengan topik dan skill berbeda. Angka ini pun belum menggembirakan karena belum merata di seluruh Indonesia.

Dengan apa yang dilakukan IGI dalam kurun waktu tersebut, seharusnya pemerintah tak lagi perlu khawatir dengan upaya peningkatakan kompetensi guru Indoensia karena sudah ada sebuah organisasi guru yang betul-betul konsen pada upaya peningkatan kompetensi guru.

Terkait hal itu IGI sangat terbuka terhadap kritik pemerintah baik pemeritah pusat maupaun pemerintah daerah. IGI pun tak akan mempersoalkan apakah ada dana pemerintah atau tidak ada dana pemerintah.

IGI hadir dengan semangat tangan diatas, berbagi dan saling menumbuhkan.

Lalu apa yang seharusnya pemerintah kerjakan dan mengapa IGI menganggap pemerintah tidak serius menuntaskan masalah pendidikan??

Mengapa IGI menganggap pemerintah masih gagal memenuhi janji kemerdekaan??

Dalam beberapa aspek, kami merasa bahwa pemerintah salah membuat kebijakan. Istilah kasarnya, lain yang gatal lain pula yang digaruk. Masalah paling utama dalam dunia pendidikan adalah tidak tersedianya guru yang cukup dengan standar kehidupan layak di Indonesia.

Lalu bagaimana mungkin kita berbicara banyak soal kualitas jika jumlahnya saja tak cukup?

Pemerintah selama ini sesungguhnya tahu bahwa ratusan ribu sekolah di Indonesia kekurangan guru. Dalam kondisi kekurangan guru, guru pensiun pun tak sebanding dengan pengangkatan guru.

Tidak heran kemudian jika sekolah-sekolah di Indonesia harus menggantungkan masa depan bangsa pada guru-guru honorer yang masih bingung dengan masa depannya.

Sekolah-sekolah di Indonesia menggantungkan masa depan bangsa pada guru-guru honorer yang masih pusing besok harus makan apa karena honornya tiga bulan sekali yang tak cukup buat makan sebulan.

Sekolah-sekolah di Indonesia menggantungkan masa depan bangsa pada guru-guru honorer yang tak tahu apakah tahun depan masih digunakan tenaga dan kecerdasannya.

Sekolah-sekolah di Indonesia masih menggantungkan pendidikan anak-anak bangsa ini pada guru-guru honorer yang tak mampu membiayai anak-anak mereka untuk bersekolah dengan layak.

Bahkan hari ini, kita akan sangat kesulitan mencari sekolah-sekolah negeri yang menjadi tanggungjawab utama pemerintah yang tidak menggunakan guru honorer.

Keberadaan guru honorer di sekolah-sekolah negeri adalah bukti nyata kekurangan guru Indonesia, oleh karena itu IGI sejak lama meminta agar sistem honorer ini dihapuskan dalam dunia pendidikan.

Keberadaan guru honorer adalah bentuk ketidakseriusan pemerintah memenuhi janji kemerdekaan mencerdaskan kehidupan bangsa. Keberadaan guru honorer ini adalah bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam mempersiapkan masa depan bangsa ini.

Dengan semua problem itu, pemerintah sebaiknya tak perlu berbicara banyak soal kualitas guru Indonesia, PENUHI DULU JUMLAHNYA BARU BICARA KUALITAS.

Kemana Anggaran Pendidikan 20%?

Perjuangan memenuhi janji kemerdekaan sesungguhnya sudah diperjuangkan luar biasa. Penetapan 20% APBN untuk pendidikan adalah keputusan eksekutif dan legislatif yang luar biasa. Tetapi mengapa memenuhi jumlah guru saja dan memastikan tak ada lagi sekolah-sekolah negeri yang menggunakan tenaga honorer tak mampu dilakukan?

Disinilah masalah utamanya, anggaran pendidikan itu sama sekali tidak tepat sasaran. Pemerintah lebih fokus pada serapan anggaran dibanding kemanfaatan anggaran tersebut.

Pelatihan-pelatihan guru di hotel-hotel berbintang, menerbangkan guru ke pusat-pusat pelatihan dan melatih guru yang itu-itu saja sesungguhnya adalah bentuk “penghinaan” kepada guru-guru di sekolah yang dipekerjakan dengan upah yang tak layak.

Jangankan setara upah minimum, kapan mereka gajian pun tak jelas waktunya. Coba dibuka kembali, berapa banyak anggaran pendidikan yang dihabiskan dalam setiap pergantian kurikulum?

Dimulai sejak sosialisasi awal, penyusunan, pengusulan, uji publik, bimtek bertingkat, sosialiasai hingga implementasi, berapa banyak anggaran yang terbuang percuma?

Yang lebih parah lagi, Indonesia yang luar biasa ini menerapkan dua atau bahkan tiga jenis kurikulum yang dalam implementasinya yang terjadi adalah guru-guru kita menerapkan kurikulum “bagaimana menurut gue”

Itu baru berbicara soal pelatihan guru dan perubahan kurikulum. Belum berbicara soal alokasi anggaran pendidikan ke berbagai kementerian yang tentu saja semakin menyulitkan upaya MEMASTIKAN TERPENUHINYA JUMLAH GURU di seluruh sekolah negeri di Indonesia. Jika Jumlah bersoal, maka diyakini sepenuhnya, pemerataan pastipun akan bersoal.

Tentang Kartu Indonesia Pintar

Kartu Indonesia Pintar sebagai upaya pemerintah mendorong peningkatan kualitas pendidikan tentu saja perlu diapreseasi, IGI mendukung segala upaya yang dilakukan pihak manapun dalam upaya percepatan peningkatan kualitas pendidikan.

Namun demikian kami tetap memegang prinsip, membantu 1000 siswa hampir pasti hanya akan membuat 1000 siswa lebih baik tetapi membantu dan mencerdaskan 100 guru boleh jadi akan menghasilkan jutaan murid hebat.

Karena itu pemerintah seharusnya menuntaskan dulu pemenuhan jumlah guru, barulah kemudian wara-wiri dengan berbagai program untuk siswa.

Tentang Pendidikan Vokasi

Pendidikan Vokasi yang selalu menjadi titik tekan Presiden Jokowi pada kenyataannya tidak berjalan maksimal, kekurangan tenaga pendidik sebagai guru produktif menjadi kendala tersendiri, sementara LPTK sebagai perguruan tinggi penghasil guru ogah mendidik guru-guru produktif.

Hubungan SMK dengan dunia Industri sebagai sebuah keniscayaan pun belum terwujud maksimal, pemerintah harus memaksa siapapun yang menjadikan Indonesia sebagai pasarnya untuk membangun Industrinya di Indonesia.

Hanya dengan cara itu SMK dan Politeknik bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Menganggarkan pengadaan laboratorium di sekolah juga terkadang tak mampu menjadi solusi karena alat yang tersedia di sekolah terlalu cepat ditinggalkan oleh perkembangan teknologi dan informasi.

Tentang Pendidikan Karakter

Sudah adakah yang berubah dalam pendidikan karekater kita?

Membangun karakter adalah memberikan keteladanan, guru dan orang tua tentu saja memiliki peran paling signifikan meskipun ada faktor diantara sekolah dan rumah, diantara guru dan orang tua.

Pendidikan karakter yang ingin diwujudkan salah satunya dalam program lima hari sekolah juga tak berjalan maksimal karena berbagai penolakan. Jika guru lebih sibuk mengurus administrasi sekolah, jika guru masih sibuk mencari upaya menambah pendapatan karena jeritan anak istri maka guru akan semakin sulit berkonsentrasi membangun karakter siswa

Jakarta, 26 Desember 2017

Muhammad Ramli Rahim
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia

Comment