KPU Sulsel Pakai Istilah Disabilitas Medic, Komunitas Difabel Protes

MAKASSAR, BERITA-SULSEL.COM – Sejumlah organisasi penyandang disabilitas atau difabel di Sulawesi Selatan protes atas pernyataan anggota Komisioner KPU Sulsel Misna Attas yang menyebut istilah ‘disabilitas medic’.

Misna mengeluarkan istilah itu saat diwawancarai oleh sejumlah jurnalis di Private Care Centre (PCC) RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, Sabtu, 13 Januari 2018.


Wawancara itu mengenai tanggapan KPU terhadap hasil pemeriksaan kesehatan para bakal calon kepala daerah yang menjadi kontestan Pilkada Serentak dan Pilkada Gubernur Sulsel.

“Kalau ada kandidat yang mengalami disabilitas medik dan menurut kesimpulan tim pemeriksaan kesehatan tidak memenuhi persyaratan maka itu bisa dilakukan pergantian,” kata Misna, dilansir dari salah satu media online di Makassar.

Begitu juga dengan komentar lainnya:

“Berpatokan pada aturan pemilihan, bila ada pasangan calon yang diketahui disabilitas (cacat medis), maka bersangkutan bisa dikategorikan tidak memenuhi syarat,” ucap Misna yang dilansir.

Direktur Eksekutif Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Abdul Rahman mengatakan pernyataan itu bisa disamakan dengan “Komisioner menolak warga dengan disabilitas (difabel) menjadi calon kepala daerah” dan itu artinya KPU melanggar Hak Politik Difabel untuk memilih dan dipilih. Sebagaimana diatur dalam UU. No 19 tahun 2011 tentang ratifikasi CRPD dan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Kedua, kata Rahman, Komisioner memaknai disabilitas sebagai ‘orang sakit’ dan tidak cakap. Hal ini merupakan ‘prasangka’ terhadap difabel/penyandang disabilitas yang tidak seharusnya diucapkan oleh seorang pejabat publik (komisioner).

Ketiga, lanjutnya, UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu menjamin hak-hak difabel (Pasal 5: Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu).

“Artinya UU Pemilu ini menjamin hak penyandang disabilitas ketika memenuhi syarat, artinya bukan karena ia menyandang disabilitas lantas dianggap tidak memenuhi syarat dan dapat diganti, sebagaimana diucapkan ibu Misna.” ujar Rahman dalam siaran persnya, Minggu, 14 Januari 2018.

Menurutnya, Misna sebagai komisioner KPU harusnya banyak-banyak membaca referensi tentang disabiltas dan tidak selayaknya mengeluarkan statement yang pengertiannya rancu.

“Kalau sakit ngomong aja sakit jangan gunakan kata-kata disabilitas karena sudah beda pengertiannya, ” kata dia.

Rahman yang juga disabilitas atau difabel netra (low vision) mencontohkan dirinya. Jika dirinya ikut dalam kontestasi Pilkada maka pasti sudah tidak lolos karena dianggap sakit.

“Padahal saya tidak sakit. Saya tidak ada (minum) obat lagi untuk saya konsumsi (sebagai penyembuhan). Dua profesor yang menangani saya saja mengatakan bahwa saya sudah tidak sakit lagi. ”

Jika kembali ke pernyataan Misna soal disabilitas maka divisi teknis KPU Sulsel itu juga tergolong difabel karena juga menggunakan kaca mata. Apa lagi di KPU mungkin bukan cuma Misna saja yang pakai kacamata. Artinya dia mengalami disabilitas medic juga. “Berarti dia (Misna) harus mundur dari KPU karena juga mengalami disabilitas medic, ” ujarnya.

Karena itu, pihaknya akan mendatangi Misna untuk minta klarifikasi. (*)


Comment