Suara Puisi Dalam Bisingnya Kota

Muhammad Ilham
Wakil ketua HMJ IKOM UINAM

KOTA adalah ruang heterogenitas yang plural, dengan diwarnai peran-peran antagonisme atau pertentangan tiap warga kota. Di mana dengan peran-peran antagonisme itu warga kota selalu melakukan ‘extraction of value’, penambahan nilai-nilai yang ada pada dirinya dengan terus melakukan sirkulasi nilai yang matematis.


Kota dibangun berdasarkan azas kepemilikan pribadi di mana para warga kota diharuskan membayar sewa mereka pada pemilik modal, termasuk juga pemilik asset yang ditempati. Dalam hal ini tak ada sesuatu yang gratis di kota. Karena itu warga kota berjuang atau tetap bekerja untuk menghasilkan uang yang harus dibayarkan kembali ke pemilik modal.

Dari keadaan seperti itu memunculkan adanya perjuangan dan pertentangan antara pemilik modal untuk pengukuhan diri atau hegemoninya. Wajarlah dalam suasana seperti itu akan memunculkan perasaan kekuatiran dan kecemasan. Masing-masing akan merasa kuatir pada sebuah kehilangan materi. Karena itu menjadikan materi sebagai segalanya yang menentukan, materi sebagai sebuah nilai yang diyakini melebihi segalanya.

Emily Durkheim di abad 19 lampau pun menyatakan tentang keadaan masyarakat kota yang seperti itu adalah masyarakat yang sakit. Yaitu masyarakat terasing dari kemanusiaan dan manusia lain. Masyarakat yang individualis yang jauh dari pribadi sosial. Masyarakat yang terasing dan lupa dari asal-usul. Masyarakat yang terjebak dalam intensifikasi kerja yang tak habis-habisnya untuk memproduksi nilai.

Masyarakat yang masuk dalam lingkaran otomatisasi Kehidupan yang serba mudah serta instan, dan modern hingga mengalpakan hubungan personal antara satu dengan yang lainnya, menaifkan jalan pulang dan menghambakan diri pada materi. Akhirnya kita pun menjumpai segala rasa bentuk keterasingan di kota. Warga kota pun hidup dalam ruangan yang terpetak-petak dan bergerak seperti robot atau zombie yang terus berjalan pada waktu dan jalur yang telah ditetapkan.

Tentu saja yang paling diuntungkan dari keadaan masyarakat seperti ini adalah para pemilik modal. Mereka membiarkan keadaan carut-marutnya kota dalam memproduksi nilai, dan tunggang-langgangnya warga kota dalam bersirkulasi nilai. Dengan itu mereka melangsungkan hegemoninya atas warga kota, di antaranya dengan memberikan kesadaran semu tentang sebuah nilai sementara menidurkan nilai-nilai kritis yang ada.

Di mana peran budaya dan sastra menyadari keadaan seperti itu? Sedang Kapitalis pun ternyata telah memasuki ranah budaya, yang memprihatikan pada keadaan seperti itu budaya ternyata seolah-olah ikut memproduksi keterasingan sendiri. Menjadikan budaya hanya sebuah melankolia yang sia-sia atau hampa dan jauh dari persoalan masyarakat dan jauh dari perenungan yang filosofis seolah budaya hanya menjadi bagian dari hiasan dari sebuah rumah kapitalisme.

Sebuah pemandangan yang umum barangkali bila kita melihat di sebuah cafe seorang datang dan duduk pada sebuah meja kafe. Lalu membuka tasnya, mengeluarkan sebuah buku, daan ternyata sebuaah novel. Dia pun larut dalam membaca seolah tak peduli pada sekitarnya, larut dalam keterasingan sendiri setelah menjalani rutinitas kerja yang eksploitatif Atau seorang penulis atau penyair yang melarutkan diri pada sebuah ketenangan taman, jauh dari hiruk-pikuk atau carut-marut keadaan di luar taman. Seolah tak peduli, mengasingkan, dan asyik sendiri dalam sebuah kerja intensifikasi dalam memproduksi nilai.

Bagaimana dengan Sastra? lebih spesifik pada puisi, Agaknya perlu sedikit bernafas lega pada perpuisiaan Indonesia dengan tema-tema perkotaan dan keterasingan masyarakat kota atau penyairnya sendiri menjadi salah satu tema yang dominan dalam sejarah perpuisian Indonesia mutakhir.

Penyair, terutama yang berbiodata di kota besar, sebagaimana halnya dia sebagai warga kota. Dia mengalami. Merasakan bagaimana kerja, bagaimana carut-marut, hiruk-pikuk dan tunggang-langgang kota. Bagaimana keterasingan di antara warga kota disebabkan perburuan sebuah nilai dan bagaimana individualismenya kota mengakibatkan asing dari kesadaran kritis hingga kesadaran semu menjiwai.

Tentu pada tiap penyair berbeda intepretasi pengungkapan tentang kota dan keterasingan. Wajarlah setiap penyair yang mengalami pengalaman sendiri-sendiri tentang kota, kota besar tempat penyair menjadi bagian dari warga kota.
Kita tahu puisi pada awalnya adalah usaha yang dilakukan dengan kepekaan emosi estetik dalam menirukan realitas empirik di luar teks menjadi sebuah bentuk dunia baru. Bisa dikatakan sebagai usaha untuk meruangkan fenomena-fenomena ke dalam tafsiran yang subjektif dalam usaha membenarkan kenyataan yang dianggapnya melenceng.

Dalam hal itulah puisi mengembangkan alam reflektifnya untuk akhirnya tidak sekedar menghasilkan kontemplasi, namun lebih jauh suatu pertobatan berkualitatif ke dalam ruang praktis yang telah terdialektis lebih dari pendalaman, hingga pada akhirnya meninggalkan sesuatu atau melampaui sesuatu. Tentu saja, penyair berperan sepenuhnya atas pilihan tema, bentuk, dan gaya bahasa pengungkapan dalam menghadirkan kembali kenyataan dengan sekian tafsir subjektifnya.

Dalam hal ini peran puisi dengan bahasanya sendiri, perlunya menjadi sebuah pegangan moral, penuntun nilai, harapan sekaligus oase bagi khalayak pembaca di antara kegersangan atau keterasingan yang dialami. Diharapkan dengan bahasa reflektif dan kontemplatifnya menjadikan dialektika menuju kesadaran kritis, diharapkan muncul sebuah gerakan atau tindakan. Akhirnya kita pun berfikir dengan kekritisan kita tentang asal-usul kita, adanya kehadiran dan keberadaan orang lain. Dari sini puisi diharapkan tidak menjadi beban di antara zaman, tetapi puisi menjadi cermin reflektif atau jembatan bagi khalayak pembaca dari obyek keterasingan, kehampaan, atau melankolia menuju kesadaran kritis yang subyektif.

Comment