“Dicari” Pemimpin yang Pro Petani dan Pembangunan Pertanian

Dr. Syamsul Rahman,.TP, M.Si
Pemerhati Pertanian sekaligus Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar

KETUA Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko, menghimbau masyarakat untuk memilih calon pemimpin daerah yang berpihak pada petani.


Pasalnya, 60 persen masyarakat Indonesia berbasis pertanian. Namun, masih banyak pemimpin daerah yang dianggap tidak berpihak pada petani kecil. Fakta di lapangan masih banyak kepala daerah yang tidak peduli petani kecil.

Menurut Moeldoko, kita berharap pemimpin yang nanti terpilih dalam kontestasi Pilkada serentak, memiliki komitmen kuat untuk memajukan sektor pertanian. Masa depan pertanian daerah bergantung pada kepala daerahnya sendiri.

Nasib petani memang tergantung pada kebijakan-kebijakan pemimpin daerah. Kalau pemimpinnya tidak pro petani, maka petani akan makin jauh dari kesejahteraan.
Peran Pemimpin

Pranadji (2008) menyatakan bahwa peran pemimpin dalam memajukan masyarakat sangatlah menentukan, leadership as a primer mover. Besarnya pengaruh keberadaan seorang pemimpin yang mempunyai visi dan kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat terkandung tiga aspek sekaligus, yaitu kharisma dan integritas sebagai pemimpin, serta kemampuan teknis sebagai manajer.

Bagi masyarakat yang berperadaban agraris ketiga aspek yaitu kharisma, integritas, dan keahlian teknis memimpin harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Misalnya kemampuan mendekati masyarakat melalui kepiawaian berkomunikasi dengan bahasa agama, menjadikan sosok pemimpin dikenal sebagai orang arif dan patut dihormati.

Selain itu, sikap merakyat yang dapat ditunjukkan pemimpin merupakan bagian esensial dari penerimaan masyarakat secara emosional.

Selanjutnya Pranadji (2008) menjelaskankan bahwa paling tidak ada lima aspek yang sangat menentukan kemajuan pembangunan pertanian.

Pertama, perlunya semangat kolektif masyarakat untuk mandiri dan merdeka dari segala bentuk keterbelakangan. Kedua, adanya pemimpin yang kompeten, kredibel, dan peduli terhadap kemajuan pertanian pada khususnya dan kemajuan masyarakat perdesaan pada umumnya.

Ketiga, adanya program pembangunan pertanian yang benar, yaitu upaya dan itikad pemimpin untuk benar-benar membangun pertanian.

Keempat, reformasi birokrasi dan pemerintahan yang sejalan dengan semangat good governance, serta penguatan masyarakat madani (civil society), dan Kelima, pengembangan modal sosial berbasis kearifan lokal.

Pro Petani Kecil

Gambaran umum petani di Indonesia adalah petani kecil (gurem) yang sederhana, miskin modal, berlahan sempit serta kurang terdidik, cenderung bersikap diam, mengeluh dan tak berdaya. Situasi ketidakberdayaan tersebut, menurut Soetomo (1997) berakar dari persoalan struktural (sistemik).

Dalam sistem sosial misalnya, petani cenderung menjadi elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya.

Sementara esensi kemerdekaan sesungguhnya adalah terbebas dari kemiskinan, mengangkat harkat dan martabat, sebagai instrumen menuju kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Tidak terkecuali derajat dan kesejahteraan petani, yang umumnya tinggal dipedesaan, dengan mata pencaharian terbesar adalah bertani, yang merupakan pemain atau pelaku utama dalam pembangunan pertanian.

Namun, hingga sekarang ini posisi petani masih lemah dan termarjinalkan. Padahal, petani adalah soko guru swasembada, ketahanan dan kedaulatan pangan. Dalam arti luas, petani merupakan soko guru perekonomian nasional.

Bisa dibayangkan seandainya tidak ada petani yang bekerja keras, bekerja sabar, bekerja ikhlas, siapa yang mau bersusah-payah menanam, menyemai, merawat dan memanen padi dan tanaman lainnya. Bahkan padi merupakan makanan pokok sebagian besar warga dunia.

Bisa jadi, jika tidak ada petani, kita akan mengalami krisis pangan, dan bahkan tragedi kelaparan akan melanda kita. Pertanyaannya, mengapa kehidupan para petani yang bekerja tanpa kenal lelah dan waktu semakin hari semakin miskin? Jawabannya, karena paradigma kita terhadap pertanian hanya sebatas budidaya komoditi primer.

Sebab arah kebijakan dan program pembangunan pertanian nasional susah dicerna ditingkat bawah, belum menyentuh harkat, martabat dan kesejahteraan para petani. Sejauh ini, pembangunan pertanian nasional hanya sebatas melihat pertanian sebagai komoditi. Bukan melihat petani sebagai motor penggeraknya.

Akibatnya petani hanya menjadi obyek dan bukan subyek pembangunan pertanian. Alhasil, nasib, harkat dan martabat para petani hanya diukur dari harga komoditi yang dihasilkan. Celakanya, komoditi yang dihasilkan oleh para petani selalu dihargai relative rendah.

Makanya nasib dan kehidupan mereka terus terpuruk. Untuk itu, problem ini sesungguhnya yang harus kita jawab bersama demi meningkatkan taraf hidup para petani demi menuju Indonesia berdaulat pangan.

Comment