Menakar Kinerja Empat Tahun Pemerintah Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Dr. Syamsul Rahman, S.TP, M.Si
Pemerhati Pertanian dan Pangan, sekaligus Dosen Universitas Islam Makassar

NAWACITA yang dilontarkan Joko Widodo (JKW) dalam visi, misi, dan program aksi yang berjudul Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian pada periode Mei 2014 saat kampanye pemilihan presiden.


Nawacita bermakna sebagai sembilan agenda perubahan. Kedaulatan pangan tercantum secara jelas pada agenda nomor 7 yaitu, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Dalam cita nomor 7 ini ada lima program, salah satunya adalah membangun kedaulatan pangan.

Khusus untuk membangun kedaulatan pangan dalam Nawacita disebutkan akan digunakan lima pendekatan (Syahyuti dkk, 2015).
Pertama, membangun kedaulatan pangan berbasis agribisnis kerakyatan, yang terdiri atas empat bentuk, yaitu penyusunan kebijakan pengendalian atas impor pangan, penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan regenerasi petani, implementasi reforma agraria, dan pembangunan agribisnis kerakyatan melalui pembangunan bank khusus untuk pertanian, UMKM, dan koperasi.

Kedua, stop impor pangan khusus untuk beras, jagung, dan daging sapi. Untuk jagung disebutkan ada tiga program, yaitu (a) peningkatan produktivitas dari 4,8 ton per hektar menjadi 5,6 ton per hektar, (b) pengembangan bank benih milik rakyat tani untuk daulat benih, dan (c) pengembangan pupuk organik untuk daulat pupuk.

Sementara, untuk sapi adalah membangun agroekologi dan peningkatan kapasitas peternakan rakyat. Ketiga, stop impor pangan khusus untuk komoditas kedelai, bawang merah, dan cabai merah.

Keempat, reforma agraria, di mana solusi untuk reforma agraria terdiri atas tiga program, yaitu (a) peningkatan redistribusi tanah 1,1 juta ha untuk 1 juta KK petani kecil dan buruh tani tiap tahun, (b) distribusi 9 juta ha tanah untuk petani dan buruh tani, dan (c) meningkatnya akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian.

Kelima, penanggulangan kemiskinan per-tanian dan regenerasi petani, berupa empat solusi, yaitu (a) seribu desa berdaulat benih hingga tahun 2019, (b) peningkatan kemampuan organisasi petani dan pelibatan aktif perempuan petani sebagai tulang punggung kedaulatan pangan, (c) rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak pada 3 juta ha pertanian, dan (d) dukungan regenerasi petani muda Indonesia.

Capaian Produksi

Berpijak dari kebijakan tersebut, kinerja sektor pertanian era pemerintahan JKW-JK telah menghasilkan karya besar, baik berupa peningkatan produksi, eskpor maupun kesejahteraan petani yang diikur dari meningkatnya daya beli.

Tercatat, telah terjadi peningkatan produksi pangan sejak 2014 – 2017. Produksi padi terjadi kenaikan rata-rata 14,9 persen per tahun , jagung 47,03 persen, bawang merah 15,2 persen, cabai 1,5 persen, dan daging sapi 8,1 persen (Kementan, 2018). Dari data ini, jelas terlihat telah terjadi peningkatan produksi pangan yang dihasilkan petani.

Peningkatan produksi ini memberikan dampak peningkatan volume ekspor komoditas padi, jagung, bawang merah dan cabai 2015 mencapai 290.035 ton.

Sementara ekspor di tahun 2014 hanya sebesar 115.617 ton. Pencapaian peningkatan produksi juga diikuti dengan meningkatnya nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar usaha petani (NTUP) yaitu NTP tahun 2016 mencapai 101,65 meningkat 0,06% dibandingkan NTP 2015 yang sebesar 101,59. NTUP rata-rata nasional tahun 2016 juga berada di posisi tertinggi dalam 3 tahun terakhir.

Tahun 2016 NTUP mencapai 109,86 atau naik 2,3% dibandingkan tahun 2015 (BPS, 2017). NTUP ini mengindikasikan kemampuan petani untuk membeli input produksi. Hal ini pun menunjukkan tingkat kesejahteraan petani.

Torehan Prestasi

Selain itu, rating Food Sustainability Index (FSI) pada aspek sustainable agriculture yang merupakan tupoksi utama Kementerian Pertanian (Kementan), rating FSI untuk aspek sustainable agriculture, Indonesia berada di rangking 16 (skor 53,87) setelah Argentina serta berada di atas Cina, Ethiopia, Amerika Serikat, Nigeria, Arab Saudi, Afrika Selatan, Mesir, Uni Emirat Arab, dan India.

Intinya hasil riset ini menunjukkan Indonesia berada di atas Amerika Serikat. Keberhasilan program sektor pertanian saat ini mampu meningkatkan ketahanan pangan Indonesia dibandingkan negara-negara lain.

Hal ini diungkapkan oleh data The Economist Intelligence Unit (2015) menunjukkan indeks ketahanan pangan global atau Global Food Security Index (GFSI) tahun 2016 Indonesia meningkat dari peringkat ke 74 menjadi ke 71 dari 113 negara.

Capaian-capaian tersebut adalah hasil bersama dari berbagai komponen bangsa, patut disyukuri, dan kurang pantas rasanya bila ada pihak tertentu yang cenderung mencari kelemahan dan tendensius menyampaikan kritik yang mengarah pada ungkapan kebencian. Mari kita syukuri, terus bergerak dan sama sama kita perbaiki kekurangan tanpa harus membuat kegaduhan.
Pembangunan pertanian saat ini hasilnya dinilai berjalan on-the right track. Hal ini sesuai roadmap kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.

Deretan capaian di atas mengindikasikan pemerintah saat ini benar-benar menaruh perhatian besar dan masif mengimplementasikan program di lapangan. Akan tetapi, yang harus dilakukan juga adalah membangun pertanian harus diintegrasikan dengan nilai luhur atau budaya masyarakat setempat.

Pengembangan komoditas pangan harus disesuaikan dengan spesifikasi lokasi dan keunggulan komparatif suatu daerah. Tentunya hal ini harus didorong oleh keterlibatan nilai luhur atau budaya suatu daerah. Keterlibatan nilai luhur masyarakat dapat mencegah terjadinya moral hazard masyarakat yang dapat merusak dan meniadakan lahan pertanian.

Misalnya mencegah terjadinya konversi lahan yang saat ini kian parah. Dengan bersandar pada nilai luhur, masyarakat tidak akan berani menjual lahannya karena takut akan hukum adat dan kutukan alam. Selain itu, keterlibatan nilai luhur pun dapat mendorong masyarakat tanpa ada paksaan untuk membangun lumbung pangan.

Apabila semua masyarakat petani di seluruh pelosok tanah air memiliki lumbung pangan, maka tidak akan pernah terjadi kelangkaan stok dan harga pangan rendah yang diterima petani. Sehingga, tidak menemukan petani yang dalam keadaan miskin.

Oleh karena itu, pemerintah bersama para pemangku kepentingan dapat bergandengan tangan untuk memajukan pertanian bahkan membawa pertanian Indonesia nomor wahid di mata dunia. Para mafia pangan pun dapat segera diberantas demi terwujudnya merah putih yakni Indonesia yang berdaulat pangan dan masyarakat sejahtera.

Menjelang empat tahun pemerintahan JKW-JK, kebijakan di bidang pertanian telah memberikan dampak yang signifikan terkait peningkatan produksi yang berdampak bagi kesejahteraan petani. Padi, jagung dan kedelai adalah tiga komoditas awal yang digenjot peningkatan produksinya sejak awal melalui program upaya khusus (Upsus) Pajale.

Secara bertahap, program kebijakan pemerintah di sektor pertanian di era nawacita mulai menunjukan hasil. Misalnya, produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2015 mencapai 75,55 juta ton, meningkat 4,66 % dibandingkan tahun 2014 sebesar 70, 85 juta.

Tahun 2016 produksi mencapai 79,1 juta ton, tahun ini juga tercatat untuk pertama kalinya Indonesia berswasembada beras setelah 32 tahun.

Bukti produksi naik itu juga bisa dilihat dari naiknya angka PDB dari sector pertanian sejak 2014-2016, PDB pertanian harga konstan 2016 Rp 1.209 triliun tumbuh 3,25% dan pada triwulan-I 2017 tumbuh 7,12%.

Satu bukti lagi kedaulatan yang diraih dari adanya program pajale on the right track yakni sejak 2016 tidak ada impor beras medium, tidak impor cabai segar dan bawang merah konsumsi.

Penduduk miskin di pedesaan September 2016 yakni 17,28 juta jiwa turun dari September 2015 yakni 17,89 juta jiwa. Gini rasio semakin membaik yakni September 2016 yakni 0,316, turun dibandingkan September 2015 yakni 0,329.

Comment