91,80 Persen Hoax dan SARA dari Informasi Sosial Politik

MAKASSAR, BERITA-SULSEL.COM – Mayoritas masyarakat Indonesia terlalu menikmati berita yang disajikan diera digital. Pasalnya, orang bisa mengakses inforamsi selama 24jam tanpa memilah dan mengkroscek lebih lanjut. Sehingga tidak bisa lagi membedakan hoax dan berita yang benar.

Hal ini disampaikan Pakar Pendidikan Politik Universitas Negeri Makassar (UNM), Dr Yasdin Yasir Spd MPd dihadapan ratusan pengurus Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (IMIKI) Cabang Makassar bersama BEM STIE Wira Bhakti dan Forum Pemuda Mahasiswa Makassar dalam diskusi publik dengan tema Pilkada Damai Tanpa Konflik SARA dan Hoax di Sulawesi Selatan, di Warkop Press Corner, Jalan Pengayoman Makassar, Selasa (20/03/2018).


Diskusi ini juga menghadirkan Ketua STIE Wira Bhakti Makassar, Dr Abdul Rahman SE MM dan Ketua KNPI SULSEL Imran Eka Saputra SH MH.

Kata Yasdin, merujuk dari hasi survey masyarakat telematis Indonesia, jenis hoax yang sering diterima masyarakat Indonesia adalah sosial politik, presentasi angkanya mencapai 91,80 persen . Sedang informasi soal SARA mencapai 88,60 persen.

“Titik point untuk mewujudkan kedamaian, kita harus bijak menggunakan teknologi dengan baik. Jika informasi benar, maka iya memiliki pola, jadi sekarang bacaan untuk menentukan benar tidaknya berita, kita harus membaca pola dan melihat konten berita,” jelasnya.

“Mustahil mencapai kedamaian jika diawal dengan peperangan. Pasalnya, muara dari konflik yang terjadi bisa kita lihat dari isi informasi, misal banyaknya akun buatan,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua STIE Wira Bhakti Makassar, Abdul Rahman menganggap, disetiap pilkada pasti akan muncul riak-riak dari pendukung kandidat.

Salah satunya dengan menjatuhkan lawan politiknya, sehingga peran pemuda dan mahasiswa harus bisa memberikan penyadaran kepada masyarakat terkait penyebaran isu dan cara memilahnya agar pilkada damai bisa terwujud.

Hal senada disampaikan Ketua KNPI Sulsel, Imran Eka Saputra. Kata dia, pemuda harus menjadi garda terdepan mencegah penyebaran hoax. Bukan tergabung dalam putaran arus hoax.

“Saat ini, mengakses informasi sudah sampai keruang privat. Sehingga, kita harus mengkroscek kembali informasi yang didapatkan tanpa percaya begitu saja,” ujarnya.

“Pemuda seharusnya mempunyai nalar kritik, berkaca dari Jogjakarta dengan dibentuknya tim anti hoax sehingga masyarakat bisa mendapatkan berita yang sepadan dan berimbang. Sehingga, lembaga di kampus harus hadir mengedukasi dan mencegah penyebaran hoax,” tambahnya.

Comment