Pendidikan dan Demokrasi di Kota Beradat

Oleh: Arsyad (Pemerhati Pendidikan)

PENDIDIKAN menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.


Pendidikan juga sering diterjemahkan sebagai usaha memanusiakan manusia.
Proses pendidikan sejatinya memang dilaksanakan dengan penuh kasih dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagaimana dalam tujuan pendidikan nasional bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Bukan hanya di lembaga pendidikan formal, penanaman nilai-nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik atau anak sering tersalur pada pendidikan informal dan nonformal seperti guru mengaji/Ustadz dan contoh-contoh perlakuan orang tua terhadap anaknya.

Sebagaimana aspek ketaqwaan dan berbudi luhur sebelumnya telah kita dapatkan melalui pesan-pesan nenek moyang kita di panggung sejarah dan kebudayaan bangsa. Hal tersebut menandakan bahwa pendidikan yang berbasis kemanusiaan telah diterapkan sejak dulu.

Usaha mempertahankan nilai luhur dan berbudi pekerti seperti ini ternyata telah menjadi tradisi dan ciri khas adat istiadat masyarakat bugis dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.

Salah satu contohnya yaitu kabupaten bone yang dikenal sebagai di kota beradat memiliki prinsip-prinsip menjaga nilai kemanusiaannya.

Contoh dari warisan leluhur untuk menjaga nilai kemanusiaan dalam memperbaiki tatanan sosial dan bekal bermasyarakat yaitu sipakatau, sipkalebbi, sipakainge. Kata sipakatau yakni saling menghargai antar sesama manusia dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Sipakalebbi mengajarkan untuk saling menghormati dan menjaga wibawa manusia satu dengan lainnya. Sedangkan istilah sipakainge berarti saling mengingatkan ketika ada di antara kita yang sedang lalai atau lupa diri, tentunya teman atau kerabatnya setidaknya mengingatkan.

Inilah yang menjadi kebanggaan bahkan keunggulan masyarakat bugis dalam menata hidup dengan sesama.

Posisi sipakatau, sipakalebbi, sipakainge dalam adat istiadat masyarakat bugis memperlihtkan ciri menghilangkan ego dan keangkuhan dalam bergaul. Sehingga hubungan yang terjalin antara manusia satu dengan lainnya akan tetap terjaga tanpa sekat dan tetap saling merangkul. Begitu pula hubungan antara masyarakat dengan Raja/pemimpin tetap saling menghormati dan menghargai dengan memperlihatkan wajah tatanan sosial yang unggul.

Ketika rakyat salah jalan maka raja dapat memberi petunjuk yang tepat agar tak jetuh ke lubang. Begitupun saat raja sedang menghadapi sesuatu yang urgen lalu kesulitan, rakyat dengan penuh hormat pada rajanya dapat menyampaikan masukan dan beberapa pertimbangan.

Konsepsi pemerintahan dijalin dengan kesepakatan dari rakyat banyak yang siap untuk dipimpin dan dihadapkan pada kesediaan seorang raja atau pemimpin yang siap memimpin dan mengayomi. Seorang raja yang dipilih tentunya sudah dipersiapkan di jauh hari sebelum ia mendapat amanah untuk memimpin.

Generasi didik sejak kecil sebagai proses menginternalisasikan potensi dan bekal keilmuan sebagai bentuk kesiapan menjadi seorang pemimpin masa depan.

Proses tersebut menandakan bahwa kehidupan berdemokrasi dengan cara-cari terdidik telah dicontohkan oleh nenek moyang kita. Demokrasi yang sehat dan menjanjikan sebuah kesejahteraan bagi umat. Begitupun dengan bekal-bekal kecerdsan yang ditanamkan dalam diri calon raja harus tuntas secara lahir dan batin.

Keilmuan lahir seperti kecerdasan emosional dan keterampilan ditonjolkan melalui pengembangan kreativitas. Pada aspek spiritual, ketahanan ego dan ambisi dalam mengontrol diri sebagai bekal utama sebelum mengontrol masyarakat merupakan hal yang sangat urgen. Dengan demikian, ketika potensi itu telah mengakar dalam diri generasi maka kita tidak akan menguras tenaga lagi untuk mencari siapa yang akan dijadikan sebagai pemimpin pada setiap momentum laga demokrasi.

Konsep demokrasi yaitu dari rakyat untuk rakyat dan kembali ke rakyat sangat jelas bahwa poin terpenting yang harus disikapi dan diperbaiki adalah hal-hal yang baik bagi segenap umat. Mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, ikhlas dalam dipimpin, dan siap untuk memimpin, akan menciptakan dasar miniatur masyarakat yang terhormat. Pada gilirannya, sistem demokrasi mengajarkan prinsip-prinsip kebersamaan dalam masyarakat.

Leluhur bangsa kita telah mewariskan tatanan sosial yang harmonis melalui budaya-budaya berbasis kemanusiaan, dilahirkan oleh rasa dan karsa yang baik hingga dikonsepsikan dalam bentuk pendidikan. Melalui pendidikan, kita dapat melahirkan generasi yang cerdas secara emosional, terampil, dan baik spiritualnya.

Potensi individu tersebut dibarengi dengan pengetahuan sosial dan penjiwaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan melalui sebuah proses pendidikan. Generasi terdidik akan menjadi pemimpin di masanya, begitu pula di lain hal akan menjadi rakyat yang demokratis, saling menghargai serta saling menghormati antar sesamanya sebagaimana prinsip kemanusiaan yang beradat dan mengamalkan nilai sipakatau, sipakalebbi, sipakainge.

Comment