Belajar Terorisme dari VOC

Oleh : Achmad Shabir (Jurnalis)

DEVIDE and Conquer. Tiga penggalan kata yang diaplikasikan dengan baik oleh perusahaan multinasional Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk menaklukkan ratusan kerajaan sepanjang samudra hindia hingga pasifik. Kelak wilayah kerajaan-kerajaan taklukan itu disebut Nederlands Oost Indische atau Hindia Belanda–waktu itu belum ada konsep Indonesia mengingat konsep itu dilahirkan oleh para pemuda sotta yang kopdar pada 28 Oktober 1928.


Sejak dipopulerkan kongsi dagang VOC, strategi devide et impera menjadi agenda strategi militer yang wajib bagi negara-negara adidaya dalam upaya penaklukan. Bahkan boleh disebut sebagai operasi militer primer untuk melemahkan target negara jajahan sebelum kekuatan tempur penuh diturunkan. Dengan kata lain strategi devide et impera selalu dijalankan oleh pasukan pra-tempur atau dalam warfare kekinian akrab disebut operasi intelejen.

Itulah yang terjadi di timur tengah sejak Oktober 2001 sampai sekarang. Pecah penduduk dalam beberapa faksi-faksi yang saling bertentangan and play both side if you can. Afganistan, Yaman, Bahrain, Libya, dan yang paling menyita perhatian: Irak dan Suriah, adalah saksi bisu bahaya maut strategi classic VOC ini. Apalagi sudah jadi rahasia umum sejak Edward Snowden bernyanyi bahwa pada awalnya ISIS merupakan milisi yang dibentuk dan didanai penuh oleh Amerika Serikat, Inggris dan Israel.

Pecahnya perang di kawasan muslim ini tidak lepas dari fenomena ‘Arab Spring’ yang diawali dari Tunisia, akhirnya menyebar menjadi revolusi di Mesir yang menumbangkan mantan Presiden Hosni Mubarak, perang saudara di Libya yang mengakibatkan terbunuhnya Muammar Gaddafi, pemberontakan sipil di Bahrain dan Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Fenomena mirip Arab Spring ini sudah dua kali kita alami yakni pada akhir orde lama dan akhir orde baru.

Di Irak, fenomena Arab Spring ini bertransformasi menjadi perang saudara yang meluas ke Suriah setelah rezim Saddam Husein tumbang. Ihwalnya tentu saja dimulai dengan kemunculan ekstremis mirip Taliban-Alqaeda yang didanai NATO. Belakangan ekstremis ini dikenal dengan nama beken Islamic State of Iraq dan Syria.

Di negeri yang sekarang disebut Indonesia, di jaman tempo doeloe VOC memanfaatkan semua celah sosial untuk membentuk faksi-faksi politik. Isu agama juga tidak ketinggalan dimainkan. Muhammad Shahab alias Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pahlawan–kalau bukan korban manipulasi VOC–yang mungkin paling tepat menasehati kita tentang bahaya dampak meluas dari konflik beraroma agama antara ekstremis (kaum Padri) versus abangan (kaum Adat). Setelah kerajaan-kerajaan di minang dan mandailing melemah karena perang saudara, masuklah Belanda dengan bala tempur legiun asing yang dibekali teknologi perang tercanggih pada masanya. Meskipun kaum padri dan adat akhirnya bersatu melawan VOC, namun sudah terlambat, VOC terlanjur menang dua langkah ke depan.

Mungkin skenario ini pula yang sedang dipentaskan para pemain catur dari negeri asing di Indonesia. Di era psyco-war jaman now, konspirasi memang kerap berada dibalik setiap peristiwa-peristiwa mencengangkan. (*)

Comment