Mengapa Diklat Guru Harus Mengorbankan Siswa?

Oleh : Muhammad Ramli Rahim
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia

SORE hingga malam ini, group Whatsapp orang tua siswa SD IT Albiruni Karantina Makassar “rusuh”, pengumuman mendadak dari pihak sekolah bahwa Kamis, Jumat dan Senin, 19,20 dan 23 Juli 2018 siswa dipindahkan belajar ke SD IT Albiruni Jipang yang jaraknya cukup jauh menjadi masalahnya.


Menurut saya, wajar saja mereka protes, uang masuk sekolahnya saja puluhan juta belum termasuk uang bulanannya.

Pihak sekolah menyampaikan bahwa hal tersebut dilakukan karena sekolah mereka akan digunakan Direktorat SMP untuk Diklat K13 untuk guru-guru di Makassar.

Sebagian orang tua menganggap bahwa pihak sekolah tidak profesional karena sejak awal mereka sudah memastikan tak ada perpindahan tempat belajar.

Jika mencermati lebih jauh sebenarnya menurut kami, pemerintahlah yang tidak profesional dan akhirnya siswa yang dikorbankan. Begitu banyak pertanyaan yang muncul.

Mengapa diklat guru harus dilaksanakan di saat waktu belajar?

Mengapa harus di sekolah dan dibuatnya pun di sekolah swasta?

Diklat guru dengan alasan apapun tak boleh mengorbankan siswa, apalagi bikin susah orang tua yang telah membayar mahal ke sekolah swasta tersebut.

Diklat guru seharusnya bermanfaat untuk siswa dan karenanya tidak boleh mengganggu aktivitas belajar siswa. Begitu banyak gedung-gedung pemerintah dan swasta yang bisa digunakan.

Mengapa memilih sekolah yang siswanya sedang belajar?

Mengapa diklat guru tidak dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu, dimana guru tak punya beban mengajar siswa atau dibuat tiga kali hari Sabtu agar tak mengganggu ibadah minggu bagi yang melaksanakannya.

Inilah sebenarnya mengapa proses peningkatan kompetensi guru menjadi lambat karena kegiatan mengganggu seperti ini dicontohkan oleh pemerintah.

Jika diklat atau pelatihan guru dilakukan di hari sekolah dan di ruang-ruang kelas maka berapa kali setahun guru bisa mengikuti pelatihan dan berapa banyak siswa atau murid yang harus dikorbankan.

Makassar, 18 Juli 2018

Comment