Isu HAM dalam Pusaran Politik

Oleh: Abdul Aziz Saleh
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Sulawesi Selatan

Hak Asasi Manusia sebagai hal yang kodrati, secara absolut melekat pada setiap individu manusia tanpa membedakan etnis, ras, agama, ideologi, gender dan pandangan politik.


Dalam sejarah panjangnya, Hak Asasi manusia telah terbagi menjadi tiga generasi, yaitu Generasi Pertama; Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite) atau biasa juga disebut Collective Rights.

Akhir akhir ini, Isu HAM telah menjadi komoditas politik di tanah air seperti isu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA), Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB). Para politisi mengeksploitasi isu HAM dengan berbagai cara dan kemasan yang berbeda. Sejak pendaftaran Capres Cawapres tanggal 4–10 Agustus lalu, tensi politik tanah air semakin meninggi.

Hal ini dimulai dari masa lalu kandidat diusut dan ditelusuri sampai dimana keterlibatannya dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, begitupun terhadap kandidat petahana yang janjinya akan menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu kini ditagih keseriusannya. Goreng menggoreng isu HAM oleh kedua kubu tak terelakkan. Publik pun menunggu siapa kubu diantara kedua kandidat yang bisa lebih meyakinkan rakyat Indonesia menjelang pemilu 17 April 2019 mendatang.

Dalam Program Nawacita, janji Jokowi menuntaskan Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti : Pembunuhan Massal 1965–1966, Penembakan Misterius 1982–1985, Peristiwa Talangsari 1989, Penghilangan orang secara paksa 1997–1998, Kerusuhan Mei 1998, kasus trisakti-semanggi I dan II 1998–1999 dan Wamena 2003.

Kasus-kasus tersebut berlalu tanpa proses hukum yang memadai dan adil bagi para korban. Ditambah lagi dengan belum diungkapnya siapa dalang dibalik pembunuhan pejuang HAM Alm. Munir Said dan penyiraman air keras ke wajah Penyidik KPK Novel Baswedan sampai hari ini belum jelas siapa pelakunya. Jelas ini semua sangat menghambat semangat pemajuan HAM di Indonesia dan pastinya menjadi catatan tersendiri dihati rakyat.

Fenomena 212

Tampilnya Prabowo Subianto menyampaikan orasinya dihadapan Peserta Reuni Akbar 212 seminggu lalu di Monas, menyiratkan adanya hidden agenda (agenda terselubung) kuat dugaan ada kelompok yang memainkan politik identitas yang juga termasuk isu HAM. walaupun sesungguhnya niat tulus para peserta alumni 212 berkumpul di Monas untuk bereuni dan silaturrahim sembari menyuarakan aspirasinya.

Meski Kandidat capres nomor dua tersebut secara eksplisit menyampaikan bahwa dia tidak dibolehkan berkampanye dan menyinggung soal politik diatas panggung, namun logika rasionalitas rakyat tidak bisa dibohongi dengan alasan retoris apapun, karena faktanya cap kandidat presiden nomor urut dua yang melekat pada dirinya tidak bisa dinafikan.

Anehnya lagi Bawaslu DKI Jakarta dengan cepat berkesimpulan dini, jika pada Reuni Akbar Alumni gerakan 212 tersebut, tidak ditemukan adanya pelanggaran pemilu padahal proses penyelidikan sementara dilakukan pihaknya.

Masih segar dalam ingatan kita, nama Capres Prabowo Subianto selalu dikaitkan dengan kasus penculikan para aktivis pro-demokrasi selama periode 1997/1998 yang tercatat ada 23 orang hilang. Penculikan dilakukan di tempat dan waktu yang berbeda-beda. Beberapa sumber mengatakan, pelaku penculikan adalah Tim Mawar, sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV.

Dokumen rahasia Kedutaan Besar AS yang dirilis ke publik mengungkapkan bahwa mantan Komandan Jenderal Korps Pasukan Khusus (Kopassus) Prabowo Subianto terlibat dalam penculikan aktivis pro-demokrasi di era 1998. Itu didasarkan sumber mahasiswa. Hal itu tercantum dalam dokumen yang dirilis oleh National Security Archive, The George Washington University, tertanggal 7 Mei 1998.

Pernyataan tersebut dibantah oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa keterangan dalam dokumen itu tidak akurat. Menurutnya, Data tersebut sangat tidak benar, sumbernya juga hanya merujuk keterangan seorang pemimpin organisasi mahasiswa yang bersifat sangat asumstif.

Ia menegaskan bahwa dokumen itu bukan dokumen hukum, namun hanya dokumen intelijen yang metode pengumpulan informasinya tidak tepat.
Dalam Putusan Mahkamah Militer Agung tanggal 24 Oktober 2000 lalu, tentang kasus penculikan sembilan aktivis pro-demokrasi disebutkan bahwa ada sebelas orang anggota Tim Mawar Kopassus yang dikenakan hukuman penjara, namun tak ada nama Prabowo di dalamnya.

Mungkin saja secara normatif putusan tersebut telah berkepastian hukum, namun apakah putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan para keluarga korban?.

Quo vadis penegakan HAM di Indonesia

Peringatan hari Hak Asasi Manusia Internasional adalah momentum tepat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah terkait kebijakannya dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di indonesia. Termasuk keberpihakan pemerintah terhadap kaum rentan seperti, Perempuan, anak, penyandang disabilitas, buruh, Masyarakat Adat dan kaum Minoritas.

Menurut Prof. Romli Atmasasmita, negara hukum demokratis itu digali dari tiga pilar yaitu penegakan hukum (rule of law), perlindungan HAM (enforcement of human right) termasuk penegakan hukum HAM-nya dan akses masyarakat untuk memperoleh keadilan (acces to justice).

Isu HAM bukan hanya soal hak sipil dan politik namun juga fokus pada pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Jangan lagi isu ini menjadi janji pemanis bibir para politisi yang berulang setiap menjelang kontestasi pemilu.

Termasuk tugas KOMNAS HAM untuk menyelidiki apakah serangan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) 2 Desember 2018 lalu, yang menewaskan 31 pekerja di Nduga, Papua itu merupakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime againts humanity) sebagaimana Pasal 9 Undang undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sebagai bagian dari serangan sistemik yang terarah pada penduduk sipil atau bukan. (*)

Comment