Sekolah Islam Athirah Siap Deklarasi dan Layani Pendidikan Inklusif

Ilmaddin Husain SPd
Guru SMA Islam Athirah Bukit Baruga
Melaporkan dari Makassar
MAKASSAR, BERITA-SULSEL.COM – Semua anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu. Demikian halnya, anak berkebutuhan khusus (ABK) atau penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di lingkungan pendidikan formal, non formal, maupun informal.
Demikian mengemuka dalam pelatihan pendidikan inklusif yang diselenggarakan Sekolah Islam Athirah di Auditorium Sekolah Islam Athirah, Jalan Kajaolaliddo, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (2/1/2019).
Menurut Direktur Sekolah Islam Athirah Syamri ST MPd, program pendidikan inklusif di Athirah bukanlah hal yang baru.
“Sudah dimulai sekitar 5 tahun yang lalu. Nanti di promosi penerimaan siswa baru yang akan datang akan mencantumkan informasi bahwa Athirah menerima anak berkebutuhan khusus,” katanya.
Dalam pelatihan yang akan digelar selama 2 hari ini, tampil menjadi pemateri, Dr Iis Masdiana MPd selaku pengawas sekolah di Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan.
Pendidikan inklusif, menurut Iis, ialah pendidikan yang mengakomodasi semua anak, tanpa memedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, anak penyandang disabilitas, anak-anak berbakat, pekerja anak, anak jalanan.
“Termasuk anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas, dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat,” ungkap wanita yang pernah menimba ilmu di Flinders University Australia ini.
Hal yang mendasari pendidikan inklusif, kata Iis, adalah karena semua anak mempuanyai hak untuk belajar bersama.
“Anak-anak tidak harus diperlakukan diskriminatif dan tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan pendidikan bagi penyandang disabilitas,” kata yang meraih gelar doktor dalam ilmu pendidikan di Universitas Negeri Makassar (UNM) ini.
Hadir mengikuti pelatihan, Kepala SMA Islam Athirah Bukit Baruga Ridwan Karim SPd MPd, wakasek kurikulum Dr Bakri MSi, wakasek kesiswaan dan keagamaan Abdul Azis SPd, dan wakasek sarana lingkungan Wardah SPd.
Indikator anak berkebutuhan khusus, lanjut Iis, diantaranya anak lambat belajar, anak berkesulitan belajar, anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa, dan anak dengan hambatan pendengaran.
Adapula anak dengan hambatan penglihatan, anak dengan hambatan intelektual, anak dengan hambatan fisik dan motorik, anak dengan hambatan emosi dan perilaku, anak dengan hambatan majemuk.
“Hambatan perkembangan intelektual adalah mereka yang mengalami hambatan atau keterlambatan dalam perkembangan mental. Hal ini disertai ketidakmampuan untuk belajar dan untuk menyesuaikan diri sedemikian rupa, sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan,” imbuhnya.
Hadir dalam pelatihan tersebut, Direktur Sekolah Islam Athirah Syamril ST MPd, Kepala Departemen Human Capital Management Nurwahidah AMa SP, Kepala Departemen Keuangan Hasyim Halim SE MM, Kepala Departemen Human Capital Development Mas Aman Uppi SPd MPd, Kepala Departemen Customer Society and Media Relation Khasan SPd, koordinator unit Drs Patris Hasanuddin MPd, dan Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan yang juga penanggungjawab program pendidikan inklusif Mutmainnah.
Ia mengungkapkan, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan, hambatan belajar dan memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan.
“Disebabkan oleh faktor internal dan eksternal dan kombinasi dari keduanya, sehingga diperlukan adaptasi dalam pembelajaran,” jelas pemateri yang meraih magister di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini.
Semua anak, kata Iis, memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal, sistem inklusif berpotensi untuk mengurangi rasa kekhawatiran, membangun rasa persahabatan, saling menghargai dan memahami.
Pihaknya mengemukakan, pendidikan inklusif menyiapkan siswa menjadi toleran dan menghargai perbedaan, memandang keberagaman sebagai sumber daya bukan sebagai sumber masalah, menghilangkan diskriminasi dan pengucilan.
Pendidikan inklusif di Indonesia memiliki tiga landasan yaitu landasan filosofi, landasan sosial, dan landasan hukum.
“Adapun landasan filosofi yaitu bhinneka tunggal ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Selain itu,  mewujudkan manusia yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam silat kedua dan kelima Pancasila,” ungkap Iis.
Adapun landasan sosial, yakni kebutuhan masyarakat pada pendidikan yang berkualitas.
“Pendidikan yang dapat menjangkau dan melayani semua anggota masyarakat dan kepastian semua anggota masyarakat mendapatkan pendidikan yang berkualitas,” ujarnya.
Adapun landasan hukum pendidikan inklusif diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia antara lain UU RI No 28 tahun 2002 dan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi.
Pihaknya menguraikan tentang elemen pendidikan inklusif. “Yaitu mengakomodasi semua peserta didik, pembelajaran berpusat pada peserta didik, menghargai dan menerima perbedaan dan keragaman. Selanjutnya, sistem yang meliputi kurikulum, cara, media, lingkungan diadaptasikan terhadap anak, terdapat aksesibilitas, guru bekerja dalam tim, orang tua terlibat dalam pembelajaran,” paparnya.
Prinsip dalam pendidikan inklusif diantaranya, hadir (present), diterima (acceptance), berpartisipasi (partisipation), dan berprestasi (achievement).
“Ubah pola pikir dari pendekatan pendidikan ekslusif ke pendekatan pendidikan inklusif,” ungkap Iis.
Dalam pelatihan, tampak hadir pengurus Badan Musyawarah Jami’ah (BMJ), orang tua murid, kepala sekolah lintas unit, Kepala SMA Islam Athirah Kajaolaliddo Tawakkal SPd MPd, asisten guru (teaching assistant), guru Alquran, guru pendamping khusus (GPK), dan guru TOSA.

Comment