Apa Kabar Kasus Dugaan Mark Up Anggaran Sosialisasi Dispora Makassar ?

Ini 10 Polda Penunggak Kasus Korupsi Terbanyak

Ini 10 Polda Penunggak Kasus Korupsi Terbanyak

MAKASSAR, BERITA-SULSEL.COM – Lembaga pegiat anti korupsi di Sulsel tak henti-henti terus mendesak perkembangan penyelidikan kasus dugaan korupsi kegiatan fiktif di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Makassar tahun 2018. Sebelumnya, kasus ini telah ditangani unit Tipikor Polrestabes Makassar.

“Kapolda Sulsel harus turun tangan mengevaluasi jajarannya ini. Penanganan kasus ini cukup aneh karena Polrestabes terkesan tidak berselera menangani kasusnya buktinya penyelidikannya mandek hingga saat ini,” Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun, via telepon, Sabtu, (21/11/2020)


Pihaknya turut mendesak Bareskrim Polri segera mengambil alih penyelidikan kasus Dispora yang telah berbulan-bulan tak ditindaklanjuti dan hingga saat ini tak ada kepastian hukum.

“Kita tak akan berhenti memantau terus kasus ini agar bisa berjalan maksimal dan ada kepastian hukum. Penanganan kasus ini sudah tidak berjalan profesional lagi,” terang Kadir.

Terhitung sejak munculnya surat perintah penyelidikan (sprindik) tepatnya sprin bernomor Sprin Lidik/ 315/ II/ Res.3.3/ 2018/ Reskrim, tanggal 10 Februari 2020, penyelidikan kasus dugaan korupsi di lingkup Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Makassar tahun anggaran 2018 oleh Unit Tipikor Polrestabes Makassar belum menampakkan progres bahkan terkesan didiamkan.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Widoni Fedri mengatakan kasus tersebut telah memberikan kesempatan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam hal ini Inspektorat Makassar untuk menangani awal.

“Dan sudah ada niat ganti rugi dari pelaku. Batas akhir bulan November ini,” kata Widoni.

Meski demikian kata dia, penyelidikan kasus dugaan korupsi kegiatan fikif Dispora Makassar oleh Unit Tipikor Polrestabes Makassar tersebut belum dihentikan.

“Kalau tidak bisa bayar larinya pidana,” tegas Widoni.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Jermias Rarsina mengatakan penyidik Unit Tipikor Polrestabes Makassar harus meletakkan penanganan kasus tersebut secara proporsi.

Ia mengakui memang hukum pidana dalam paradigmanya sekarang ini mengenal restorasi justice. Namun tidak menjadi serta-merta begitu saja tanpa dilandasi oleh pertimbangan yang rasional, obyektif dan berkeadilan dalam penegakan hukum.

Sehingga opini tentang upaya preventif (pencegahan) tidak menjadi ucapan murah semata oleh aparat penegak hukum yang menangani perkara korupsi. Dimana setiap kali sudah terjadi delik korupsi dalam hal ini selalu ada dalil dari aparat penegak hukum bahwa lebih mendahulukan penyelesaian.

Penyelesaian dugaan kasus korupsi di Indonesia tentang pengembalian dana/uang hasil korupsi, kata Jermias, terdapat banyak pandangan hukum dan regulasinya. Namun jika ingin jujur, belum serempak atau seragam cara berpikir yang diambil oleh setiap aparat hukum sebagai hal konsisten dalam penegakan hukum mengenai persoalan tersebut.

“Olehnya itu jangan salahkan
publik memberi penilaian miring atau plesetan bahwa siapa-siapa yang mau sidik dan dituntut pidana itu sangat bergantung pada kehendak aparat penegak hukum,” ungkap Jermias

Penyelesaian hukum dalam dugaan kasus korupsi berkaitan dengan regulasi, kebijakan pemerintah (government policy) dan pendapat ahli (doktrin) masih menjadi perdebatan publik secara krusial dalam penanganan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum.

Opini hukum yang krusial tersebut, misalnya saja berlakunya ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang intinya menegaskan bahwa pengembalian uang negara hasil korupsi tidak menghapuskan pidana, namun dalam praktek penegakan hukumnya masih menjadi problem perdebatan hukum.

Disisi lain ada juga contoh berupa kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi melalui hasil rapat kerja dengan Kejagung dan Kejati se-Indonesia tertanggal 12 Agustus 2015 yang menegaskan bahwa jika ada hasil audit temuan kerugian keuangan negara oleh BPK, maka dapat dikembalikan sebelum melewati batas waktu 60 hari sehingga

tidak diproses secara pidana. Namun terdapat beberapa kriterianya.

Begitu pula dalam PP No. 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/ Daerah terhadap Pegawai Negeri, bukan Bendahara atau Pejabat lain. Dimana dalam aturan tersebut telah ditentukan jangka waktu pengembalian kerugian keuangan negara baik untuk 60 hari, 90 hari hingga 24 bulan yang keterkaitannya dengan dugaan penyimpangan berakibat kerugian negara.

Tak hanya itu, terdapat juga pendapat ahli pidana mengenai pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku yang dapat berakibat penghentian perkara. Dimana hal itu dapat dilihat dari dua segi tindakan penanganan perkara, yakni kalau masih dalam tahap pulbaket (baru ada informasi) dan pelaku secara sadar mengembalikan kerugian keuangan negara, maka perkaranya dapat dihentikan. Sebaliknya jika penanganan perkara sudah pada tahap penyelidikan dan telah menuju penyidikan perkara, maka kata ahli perkaranya tidak dapat dihentikan.

“Semuanya itu memberikan gambaran opini hukum ke publik bahwasanya sangat kasuistik jika kita ingin mengukur tentang dapat atau tidaknya suatu dugaan tindak pidana korupsi dihentikan atau dilanjutkan,” terang Jermias.

Namun ada hal yang tidak terbantahkan secara regulasi Undang-undang khususnya pada UU Tipikor Pasal 4 yang intinya menegaskan bahwa pengembalian uang negara hasil korupsi tidak menghapuskan tindak pidana, hal itu berarti proses penanganan perkara korupsi tetap berjalan hingga bermuara di Pengadilan Tipikor.

Menyikapi hal itu, jika dihubungkan dengan penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi Dispora Makassar yang sudah ada laporan polisinya dan tengah dalam tahap penyelidikan, namun penanganannya diserahkan kepada Inspektorat Makassar (APIP) untuk penyelesaiannya dan telah ada pernyataan bahwa pelaku sudah ada niat baik melakukan ganti rugi dibatas waktu akhir bulan November 2020, haruslah dilihat secara proporsional.

Dengan niat tidak cukup dijadikan sebagai kompensasi ganti kerugian. Niat sebagai wujud itikad baik harus ada ukuran kualitatifnya.

“Lihat saja sikap pelakunya dan yang lebih tahu serta memahaminya adalah tim pengawas/ Inspektorat yang menangani kasus tersebut. Begitu pula penyidik tipikor Polrestabes Makassar tidak boleh diam begitu saja, apalagi modus kejahatan korupsinya jelas sekali ada kegiatan yang sifatnya fiktif,” kata Jermias.

Ganti kerugian uang negara yang dikorupsi harus dilihat secara proporsional dari perbuatan tanggung jawab pidananya. Karena akan mudah atau sederhana bagi aparatur negara dengan anggapan bahwa cukup menyalagunakan kewenangan dengan modus buat program kerja atau kegiatan fiktif, lalu jika dikemudian hari ketahuan perbuatan jahatnya, maka cukup dengan mengembalikan dana/ uang negara persoalan kasus korupsi menjadi selesai. (*)

Comment