Oleh : Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi & Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem FH-UMI)
Secara teoritik, Keberadaan Restorative Justice (RJ) menjadi angin segar bagi pencari keadilan dalam kasus tindak pidana ringan. Restorative justice merupakan penyelesaian tindak pidana dengan menekankan pada pemulihan kerugian antara korban dan pelaku dan masyarakat terdampak tindak pidana tersebut.
Prosedur restorative justice menitikberatkan pada pemidanaan diubah menjadi dialog dan musyawarah sehingga menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan korban dan pelaku. Restorative justice ini bermakna keadilan yang merestorasi.
Pada dasarnya restorative justice merupakan tanggapan terhadap adanya teori retributif yang menekankan pada pembalasan dan teori neo klasik yang terfokus pada persamaan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Restorative justice dilaksanakan dengan kooperatif yang menyertakan seluruh pihak.
Kemudian dari sudut pandang ahli, memberikan definisi terkait konsep restorative justice ini diantaranya Walgrave yang mendefinisikan bahwa restorative justice merupakan suatu pendekatan yang merekondisi kerusakan yang terjadi sebagai akibat adanya tindak pelanggaran, dengan mengupayakan mediasi dengan berbentuk pelayanan komunitas atau kerja sosial dengan melakukan intervensi bukan untuk menghukum atau menanamkan kembali nilai dalam masyarakat kepada pelaku, namun untuk memulihkan kerugian atau penderitaan yang dialami oleh korban.
Sedangkan lebih sederhana, menurut Bagir Manan, jika restorative justice adalah menata kembali sistem pemidanaan yang lebih adil bagi pelaku, korban dan masyarakat.
Tujuan utama penerapan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara yaitu untuk merekondisi keadaan layaknya keadaan sebelum terjadi kejahatan. Hal ini dikarenakan keadaan dapat berubah dikarenakan adanya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dan peran dari hukum untuk mengembalikan keadaan seperti semula dan melindungi hak-hak dari korban.
Selain itu, konsep ini muncul dikarenakan adanya kegagalan dalam sistem peradilan pidana. Kegagalan tersebut dilihat dari konsep pemidanaan saat ini yaitu merampas hak untuk merdeka dimana hal ini dinilai menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya proses dehumanisasi narapidana tidak berjalan dengan baik sehingga narapidana sulit untuk melanjutkan kehidupan setelah menjalani masa tahanan, sel tahanan menciptakan mental penjahat antar narapidana, bagi narapidana dengan masa hukuman pendek, proses pemasyarakatan tidak berjalan maksimal, yang terakhir adalah munculnya stigma buruk dari masyarakat terhadap narapidana.
Umumnya masyarakat tidak memahami bagaimana proses jalannya perkara pidana sampai bisa masuk ke pengadilan, pihak-pihak mana saja yang memilikí kewenangan dalam setiap tahapan, dan masyarakat pun umumnya hanya mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saat perkara tersebut di sidangkan di pengadilan. Dan oleh karena sudah sampai tahap persidangan di pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke pengadilan dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Penegakan restorative justice di Indonesia berdasar pada Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan; dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan.
Hal ini dikarenakan sebelumnya penegak hukum mayoritas masih mengutamakan penegakan hukum berdasarkan aturan perundang-undangan dibandingkan menggunakan proses dialog dan musyawarah dalam mengatasi permasalahan atau kasus yang bersifat ringan dan sederhana. Sehingga menunjukkan bahwa seakan-akan pengadilan merupakan tempat terbaik dalam mencari keadilan. Karenanya setiap munculnya suatu tindak pidana, selalu dilimpahkan ke pengadilan tanpa memperhitungkan waktu, biaya dan tenaga yang dikeluarkan apakah sebanding dengan tingkat keseriusan kejahatan tersebut.
Dalam konteks itu, maka sekalipun beberapa jenis tindak pidana dan/atau perbuatan tertentu telah diberikan ruang secara hukum untuk dilakukan penyelesaiannya melalui mekanisme restorative justice, akan tetapi terdapat pengecualian bagi jenis tindak pidana dan/atau perbuatan terentu sebagaimana ditegaskan secara imperative dalam ketentuan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yakni “bukan Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara, Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana terhadap nyawa orang.
Hal tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal Pasal 5 ayat (3) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang berbunyi :“Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.”
Dengan demikian, maka Tindak Pidana terhadap nyawa orang dan/atau tindak pidana karena kelalaian yang mengakibatkan kematian sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 359 KUHP yang ancaman pidana penjaranya maksimum lima tahun atau pidana kurungan minimum satu tahun tidak dapat dilakukan penyelesainnya melalui saluran hukum restorative justice.
Comment