Teknologi AI, Tantangan Hoaks Baru di Pemilu 2024

Nezar Patria.

JAKARTA, BERITA-SULSEL.COM — Salah satu tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang adalah isu disinformasi, malinformasi, dan misinformasi yang dapat menimbulkan kegaduhan, kebingungan, dan konflik di tengah masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Nezar Patria.

“Pada pemilu kali ini, jumlah disinformasi, malinformasi, dan misinformasi terkait Pemilu 2024 jauh lebih berkurang dibandingkan dengan dua Pemilu sebelumnya. Hal ini dapat dirasakan di media sosial, instant messenger, dan grup WhatsApp. Semoga hal ini dapat dipertahankan dan ditekan hingga Pemilu berakhir,” ujarnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema ‘Dewasa Berdemokrasi pada Pemilu 2024’, Senin (29/1/24).


Adanya penurunan politik identitas yang kerap menjadi wacana dominan selama dua penyelenggaraan pemilu, diapresiasi Nezar. Menurutnya, masyarakat sudah semakin dewasa dengan pengalaman dua kali Pemilu sebelumnya yang nyaris membelah bangsa.

“Kita bersyukur kali ini, kelihatannya politik identitas tidak lagi wacana dominan dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif. Perbedaan pertama tidak mengeksploitasi politik identitas. Tapi isu yang lebih ditampilkan lebih ke black campaign menggunakan berbagai macam medium,” tutur Nezar.

Nezar menambahkan, salah satu hal baru dalam isu disinformasi, malinformasi dan misinformasi tahun ini adalah penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dapat menghasilkan konten palsu yang lebih sulit dibedakan dengan sekali pandang. Contohnya Deepfake, yaitu teknik manipulasi gambar atau video yang dapat mengubah wajah, suara, atau gerak seseorang dengan menggunakan AI.

“Itu menjadi hal baru dalam hoaks tahun ini. Ini bukan hanya di Indonesia saja, sejak generative AI muncul, sudah digunakan di beberapa negara, tidak hanya pemilu, tetapi juga untuk menyebarkan misinformasi dalam kesehatan dan ilmu pengetahuan,” paparnya.

Untuk mengatasi hal ini, Nezar mengatakan bahwa Kominfo telah melakukan antisipasi sejak enam bulan sebelum Pemilu. Kominfo menggandeng berbagai stakeholders, termasuk media arus utama di berbagai platform, juga dengan platform media sosial yang menjadi tempat paling rentan untuk penyebaran disinformasi dan misinformasi.

“Kita bekerja sama dengan platform medsos, Google, Meta, Tiktok, X, dan lain-lain, kita ada komitmen cukup bagus dalam menciptakan ruang digital yang sehat untuk menyukseskan Pemilu 2024,” jelas Nezar.

Nezar menekankan bahwa Pemilu hajatan berskala besar, sehingga Kominfo berkolaborasi dengan banyak pihak, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ekosistem media, dalam satu jalur koordinasi untuk mengatasi kekacauan informasi. Polarisasi yang mungkin terjadi juga dicoba untuk diantisipasi.

“Dibutuhkan juga keterlibatan organisasi masyarakat, tim pemenangan, didapatkan kesatuan pandang dan kesamaan sikap. Kita harus menciptakan pemilu ini damai. Sarana integrasi bangsa,” tegas Nezar.

Kepercayaan Media Meningkat
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengungkapkan kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream semakin meningkat menjelang Pemilu 2024. Hal ini terlihat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa rata-rata kepercayaan masyarakat terhadap media televisi mencapai 39 persen.

“Sekarang ada kondisi lebih kondusif, kepercayaan terhadap mainstream lebih tinggi. Mereka kembali ke sana. Masyarakat akhirnya memilih untuk melihat kebenaran informasi di media mainstream,” katanya.

Selain peningkatan kepercayaan masyarakat, Ninik juga menyoroti peran media mainstream dalam Pemilu 2024. Ninik berharap media mainstream dapat berperan aktif dalam meningkatkan partisipasi publik, memberikan edukasi kepada calon anggota legislatif, dan menghimbau masyarakat untuk tetap tenang.

Sementara itu, Kepala Departemen Politik & Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes menilai, saat ini kecenderungan model kampanye di Pemilu 2024 mulai bergeser dari media sosial kembali ke media mainstream. Menurutnya, hal ini -salah satunya- disebabkan oleh jenuhnya masyarakat dengan media sosial yang seringkali menyajikan informasi yang tidak terverifikasi dan cenderung menimbulkan hoaks dan disinformasi.

“Sekarang mungkin karena jenuh dan verifikasi terbatas, orang beralih ke televisi. Dalam dua survei terakhir kami, televisi menjadi rujukan utama. Di televisi proses pemeriksaan data dan fakta, pengumpulan data lebih terverifikasi dibandingkan sosial media,” jelasnya.

Arya juga menilai bahwa televisi dapat menampilkan informasi yang lebih berimbang daripada media sosial. Ia mengatakan bahwa secara umum ia melihat keberimbangan televisi cukup baik dalam memberitakan Pemilu 2024.

“Sebagian besar saya kira TV kita bisa menampilkan informasi yang berimbang. Secara umum kita melihat keberimbangan TV cukup baik,” pungkas Arya. (eka)

Comment